Penulis: J. G. Ballard
Jumlah halaman: 272 halaman
Tahun terbit: 2016 (pertama kali terbit 1975)
Penerbit: Fourth Estate
Format: paperback
Harga: Rp 175.000 di Periplus
Rating Shiori-ko: 2/5
Sinopsis:
Coming in March 2016 from acclaimed director Ben Wheatley, a major motion picture adaptation of J. G. Ballard’s compelling and unnerving tale of what happens when life in a luxury apartment building descends into chaos, starring Tom Hiddleston, Jeremy Irons, Sienna Miller, Luke Evans and Elisabeth Moss.
‘Later, as he sat on his balcony eating the dog, Dr Robert Laing reflected on the unusual events that had taken place within this huge apartment building during the previous three months.’
Within the walls of a high-tech forty-storey high-rise, the residents are hell-bent on an orgy of sex and destruction, answering to primal urges that their utopian surroundings can’t satisfy. The high-rise is a would-be paradise turned dystopia, ruled by intimidation and violence, and, as the residents organize themselves for war, floor against floor, no one wants it to stop …
Resensi Shiori-ko:
Tergoda dengan pilihan book of the week-nya Periplus dan juga kata-kata kalau buku ini akan dijadikan film, well, kenapa aku tidak coba untuk beli?
Gaya Bahasa, Kosa Kata, dan Penyampaian
Jangan kaget. Jangan berharap banyak.
Tapi ternyata aku harus kaget juga karena tulisan yang ada di buku terlampau kasar. Unsur kekerasan yang ada dalam buku ini dideskripsikan dengan cukup mendetil. Bahkan aku sendiri tidak terlalu tega untuk membacanya secara perlahan.
Masalah kosa kata sebenarnya tidak ada kosa kata yang rumit dalam buku ini. Hanya kendalanya dari apa yang aku tulis, unsur kekerasan yang cukup membuatku merasa tidak nyaman. Bagaimana dengan penyampaian? Sebenarnya tidak terlalu membosankan. Buku ini minim dialog dan menitik beratkan pada narasi yang runtut dan detil. Bagiku, jika pernah membaca tulisan yang dipublikasi tahun 1970an, rasanya masih bisa mengikuti buku ini.
Plot
Alurnya berjalan maju sedari awal dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga serba tahu. Peletakkan konflik sudah ada sejak awal cerita ini, misalnya tentang bagaimana tokoh yakni Robert Laing melihat apartemen tempat ia tinggal, High-Rise. Memang, pembaca akan dibuat tegang sepanjang buku tetapi jangan lupakan juga dengan detil deskripsi yang mengandung kekerasan tersebut.
Penokohan
Aku lebih mengamati terhadap tokoh Robert Laing yang menjadi tokoh utama dalam buku ini. Dari awal, Robert Laing sudah digambarkan sebagai seseorang yang memang cocok dengan bagaimana kehidupan di High-Rise berjalan, semua penuh aturan yang bak preman. Tetapi, ternyata Robert Laing masih saja kaget dengan apa yang tersimpan jauh di dalamnya. Satu demi satu ia akhirnya menemukan fakta yang tidak menyenangkan .
Ada sisi kemanusiaan yang dimiliki oleh Robert Laing pada akhirnya. Robert menyadari hal yang sebelumnya ia kira sudah mati.
Isi Buku
Aku sempat berpikir ketika membaca buku ini kalau kurang lebih seperti film Indonesia, The Raid. High-Rise adalah apartemen yang tanpa aturan resmi. Dengan kata lain, adalah aturan preman. Seseorang di sana yang memiliki kendali atas apa yang terjadi dalam High-Rise. Pesta-pesta terlarang, atau bahkan pembataian rasanya menjadi suatu hal yang lumrah terjadi.
Robert Laing mungkin salah satu dari banyak penghuni apartemen tersebut yang merasa aturan itu tidak mengganggu hidupnya, barangkali. Tetapi, dengan berjalannya waktu, Robert Laing merasa ada yang perlu diubah dari sana. Dari situlah, petualangannya dalam High-Rise dimulai.
Memang, kalau sempat menelusur di internet, pasti kebanyakan akan memberikan komentar kalau buku ini seperti buku dengan tema distopia, namun lokasinya sangat spesifik: sebuah komplek apartemen. Distopia yang ada dalam buku ini yakni berupa aturan-aturan yang awalnya dianggap biasa saja oleh Robert Laing hingga suatu kejadian memaksanya untuk berbuat sesuatu. Secara konsep dan cerita sebenarnya cukup menarik. Karena yang menjadi diktator tidaklah menggunakan aturan seperti distopia yang kita baca di novel remaja seperti The Hunger Games atau Divergent, melainkan membuat sebuah aturan baru dimana semua orang dalam komplek apartemen tersebut bisa berbuat apapun.
Yang membuat aku hanya memberikan 2 bintang untuk buku ini adalah karena penggunaan kosa katanya yang tidak bisa diberikan kepada sembarang pembaca. Bahasanya kasar dan penuh dengan adegan kekerasan. Aku tidak menjamin setiap orang bisa menyelesaikan buku ini dengan perasaan tenang.
Saran Shiori-ko:
Membaca buku ini dibutuhkan keberanian yang cukup. Kalau kamu merasa tidak apa-apa menonton film-film yang penuh dengan adegan pembunuhan dan kekerasan brutal (misalnya kamu sempat bermain game berjudul Watchdog), aku rasa kamu akan tetap merasa nyaman untuk membaca buku ini. Kalau kamu ingin membaca sebelum menonton filmnya, well, mungkin itu pilihan yang cukup cerdas.
Penokohan
Aku lebih mengamati terhadap tokoh Robert Laing yang menjadi tokoh utama dalam buku ini. Dari awal, Robert Laing sudah digambarkan sebagai seseorang yang memang cocok dengan bagaimana kehidupan di High-Rise berjalan, semua penuh aturan yang bak preman. Tetapi, ternyata Robert Laing masih saja kaget dengan apa yang tersimpan jauh di dalamnya. Satu demi satu ia akhirnya menemukan fakta yang tidak menyenangkan .
Ada sisi kemanusiaan yang dimiliki oleh Robert Laing pada akhirnya. Robert menyadari hal yang sebelumnya ia kira sudah mati.
Isi Buku
Aku sempat berpikir ketika membaca buku ini kalau kurang lebih seperti film Indonesia, The Raid. High-Rise adalah apartemen yang tanpa aturan resmi. Dengan kata lain, adalah aturan preman. Seseorang di sana yang memiliki kendali atas apa yang terjadi dalam High-Rise. Pesta-pesta terlarang, atau bahkan pembataian rasanya menjadi suatu hal yang lumrah terjadi.
Robert Laing mungkin salah satu dari banyak penghuni apartemen tersebut yang merasa aturan itu tidak mengganggu hidupnya, barangkali. Tetapi, dengan berjalannya waktu, Robert Laing merasa ada yang perlu diubah dari sana. Dari situlah, petualangannya dalam High-Rise dimulai.
Memang, kalau sempat menelusur di internet, pasti kebanyakan akan memberikan komentar kalau buku ini seperti buku dengan tema distopia, namun lokasinya sangat spesifik: sebuah komplek apartemen. Distopia yang ada dalam buku ini yakni berupa aturan-aturan yang awalnya dianggap biasa saja oleh Robert Laing hingga suatu kejadian memaksanya untuk berbuat sesuatu. Secara konsep dan cerita sebenarnya cukup menarik. Karena yang menjadi diktator tidaklah menggunakan aturan seperti distopia yang kita baca di novel remaja seperti The Hunger Games atau Divergent, melainkan membuat sebuah aturan baru dimana semua orang dalam komplek apartemen tersebut bisa berbuat apapun.
Yang membuat aku hanya memberikan 2 bintang untuk buku ini adalah karena penggunaan kosa katanya yang tidak bisa diberikan kepada sembarang pembaca. Bahasanya kasar dan penuh dengan adegan kekerasan. Aku tidak menjamin setiap orang bisa menyelesaikan buku ini dengan perasaan tenang.
Saran Shiori-ko:
Membaca buku ini dibutuhkan keberanian yang cukup. Kalau kamu merasa tidak apa-apa menonton film-film yang penuh dengan adegan pembunuhan dan kekerasan brutal (misalnya kamu sempat bermain game berjudul Watchdog), aku rasa kamu akan tetap merasa nyaman untuk membaca buku ini. Kalau kamu ingin membaca sebelum menonton filmnya, well, mungkin itu pilihan yang cukup cerdas.
No comments:
Post a Comment