Saturday, May 25, 2019

House of Tales



Jostein Gaarder barangkali terkenal dengan buku tebalnya Dunia Sophie (Sophie's World) yang sayangnya bahkan belum pernah aku baca. Perkenalanku dengan Gaarder malah melalui House of Tales, sebuah novel yang kurang dari 200 halaman.



House of Tales
Penulis: Jostein Gaarder
Jumlah halaman: 168 halaman
Tahun terbit: 2019
Penerbit: Mizan
Format: paperback
Rating Shiori-ko: 3/5
Sinopsis:

Pada hari pertama kuliah di Universitas Oslo, Albert memperhatikan seorang gadis di depan mesin kopi. Gadis itu, Eirin, balas memperhatikan Albert. Mereka pun saling jatuh cinta. Pertemuan berikutnya menghantarkan mereka ke Rumah Dongeng, rumah terpencil yang semakin menegaskan perasaan cinta di antara mereka.


Tiga puluh tuju tahun kemudian, ketika Eirin berada di sebuah kongres biologi di Melbourne, Albert menerima pesan menyeramkan dari mantan kekasihnya, Marianne. Pesan itu sangat mengguncang hidup Albert, hingga dia memutuskan untuk menyepi ke Rumah Dongeng dan menenangkan diri. Di sini, Albert memberi dirinya batas waktu 24 jam untuk menulis tentang kehidupannya bersama Eirin. Setelah itu, Albert harus membuat keputusan terpenting dalam hidupnya.

***

Premisnya cukup membuat penasaran. Memangya, pesan apa sih yang dikirimkan oleh Marianne? Sampai-sampai Albert harus "mengurung diri" di Rumah Dongeng. Apakah Marianne meminta cinta Albert kembali dan menggugat Eirin?

"Kita sangatlah kaya tak berhingga akan kesan-kesan kehidupan, pengakuan, kenangan, dan hubungan satu sama lain. Tetapi, pada saat berpisah, segalanya luruh dan lenyap, terlupakan."


House of Tales diceritakan dari sudut pandang orang pertama. Siapa lagi kalau bukan Albert. Dengan gaya penceritaan yang maju mundur, barangkali pembaca akan merasa kebingungan ketika berusaha menjejak buku ini. Gaarder tidak mengenalkan siapa Christian, siapa June, dan siapa Sarah. Tapi ketiga nama itu muncul sejak awal (selain nama Eirin dan Mariane, tentunya).

Tapi mungkin itulah maksud Gaarder. Ia sengaja mengajak pembaca untuk ikut "berjalan-jalan" melalui kenangan dan cara pikir tokoh utama, Albert. Alur yang maju mundur itulah kuncinya.

Albert berkisah tentang pertemuannya dengan Eirin. Tentang bagaimana mereka berdua menemukan Rumah Dongeng dan mengapa dijuluki seperti itu. Semakin masuk ke dalam cerita, Albert mulai membahas tentang konflik yang pernah terjadi antara dirinya dengan Eirin. Hingga berangsur-angsur tentang rahasia yang tidak pernah diketahui Eirin sebelumnya.

Pesan yang dikirimkan oleh Mariane hanyalah sebuah awalan dari terbukanya tabir rahasia yang selama ini disimpan Albert. Dari situ, Albert mulai mempertanyakan keputusan-keputusan yang diambilnya. Termasuk, pertemuannya dengan Eirin. Memiliki Christian hingga Sarah. Tapi dari situ, pembaca diajak untuk berada pada posisi Albert: mempertanyakan kehidupan dan eksistensinya selama ini.

Dalam House of Tales, meski dibuka dengan kisah cinta dan hubungan asmara nan romantis, ternyata Gaarder menyimpan pesan tersirat. Diangkat secara perlahan melalui percakapan monolog Albert dengan batinnya sendiri yang sebenarnya cukup menggugah hati pembaca. Bagaimana jika pembaca mendapatkan pesan yang sama seperti yang diterima oleh Albert?

Tetapi di sisi lain, Gaarder menampilkan cerita mengenai "harapan." Bahwa pertolongan pasti ada, harapan akan memberikan jalan dan solusi asalkan kita mau membuka diri terlebih dahulu.

Ahya uniknya lagi, Gaarder menggunakan analogi kisah Goldilocks dan Tiga Beruang terhadap apa yang dialami oleh Albert dan Eirin. Analogi tersebut memperkenalkan pembaca dengan alam semesta ciptaan Gaarder, yang tampaknya menjadi salah satu tulisan khasnya: filsafat.

"Kita memiliki otak yang sesuai dengan alam semesta yang kita tinggali ini; yang lengkapnya seperti alam semesta itu sendiri, dan malah bisa disebut sebagai adik kecil dari alam semesta."

House of Tales memang bisa dihabiskan dalam sekali duduk. Tipis, tidak sampai 200 halaman dan ditambah ukuran huruf yang cukup besar membuat proses membaca menjadi cepat. Tetapi bagiku, pemikiran Albert terhadap kehidupan belum membuatku ikut merenung bersamanya. Boleh dicoba sebagai awalan mengenal karya-karya Gaarder.

No comments:

Post a Comment