Tuesday, October 27, 2015

The Martian: Movie Adaptation Review



SPOILER ALERT for anyone who have not read the book or watched the movie yet

Silahkan tengok resensiku tentang buku The Martian. Karena satu dan lain hal akhirnya aku baru bisa menonton film ini di akhir bulan Oktober. Miris sih. Tapi apalah arti baru sempat nonton ketimbang kena spoiler yang bisa meruntuhkan imajinasi ketika membaca. Menghindari spoiler yang aku lakukan sebenarnya cukup ekstrim sih. Apalagi setelah tahu kalau buku The Martian itu adalah pemenang Goodreads Choice Award. Makin-makinlah aku berusaha menghindar dari apapun yang berbau film ini. Paling banter cuma tahu kalau yang main si Matt Damon. Aku sama sekali tidak menonton trailer-nya untuk menghindari perasaan driven by the movie.

Sebelumnya, baca dulu resensi buku The Martian

Untuk yang ingin nonton trailernya, bisa lihat video di bawah ini.



Perbandingan Film dengan Buku
Namanya juga film yang didaptasi dari novel best-seller, tidak cuma The Martian, pasti ada beberapa perbedaan. Namun sayangnya untuk The Martian ada 3 hal yang menurutku cukup berbeda dan berpengaruh terhadap flow film. Sebenarnya bukan merupakan yang besar sih jika bagian tersebut diganti, diubah, atau dihilangkan. Toh penonton yang tidak membaca bukunya diharapkan tetap menikmati alur film. Tapi karena aku sudah membaca bukunya terlebih dahulu sebelum menonton filmnya, jadilah akan menuliskan hal-hal yang menurutku kurang memberikan keseruan pada film ini.

Pada film, diketahui kalau Mark Watney, sang tokoh utama, tertinggal di Mars ketika misi Ares III sudah berada pada SOL ke-18. Sedangkan di buku, Watney menuliskan jurnal pertamanya pada SOL ke-6. Oh iya, baik pada buku maupun filmnya, tidak ada penjelasan mengenai berapa lamakah 1 SOL dengan 1 Hari di Bumi. Padahal menurutku hal itu penting karena tidak semua penonton dan pembaca memiliki dasar ilmu astronomi. Setelah mencoba googling, maka ditemukan bahwa 1 SOL sama dengan 24 jam 39 menit di Bumi. Hanya saja, 1 tahun di Mars berbeda dengan 1 tahun di Bumi karena lintasan orbit milik Mars lebih jauh dari lintasan milik Bumi. 

sumber
Perbedaan waktu log atau jurnal ketika Watney sendirian di Mars juga berkaitan dengan perbedaan plot dalam film dan buku. Di film, sedari awal sudah dijelaskan mengapa Watney sendirian. Mengapa mereka akhirnya membatalkan misi dan segera meninggalkan Mars. Sedangkan dalam buku, pembaca mulanya hanya diberikan log Watney dari SOL ke-6 dan ia pun menyadari kalau dirinya sendirian di Mars. Plot dalam film semuanya maju. Benar-benar menggambarkan bagaimana Watney sampai bisa berada di Mars sendirian hingga tiba saatnya misi penyelamatan Watney yang tentu saja tidak mudah. Di dalam buku, permainan plot merupakan hal yang cukup menarik sebab dari awal, Watney tidak tahu apa yang terjadi dengan kru Ares III yang kemudian berpengaruh pada jalan cerita yang maju mundur. Sebenarnya tidak terlalu masalah jika alur cerita di film dibuat supaya maju terus. Hal ini akan memudahkan penonton untuk memahami film dan membuat mereka tegang dengan berhasil tidaknya Watney bertahan hidup di Mars.

Ketika film sampai pada adegan di gedung NASA di Houston, Texas, penonton akan ditunjukkan seseorang yang cukup penting dalam misi Ares III dan misi penyelamatan Watney. Spotlight pertama menuju pada Teddy Sanders, direktur utama NASA yang awalnya mengumumkan pada media kalau Watney sudah meninggal di Mars dan kru sisanya sedang dalam perjalanan menuju bumi. Dan salah seorang lagi bernama Dr. Vincent Kapoor, yang memiliki insting kalau Watney masih hidup jauh disana. Perbedaan nama terjadi pada Dr. Vincent Kapoor dimana di buku namanya adalah Dr. Venkat Kapoor dan lebih sering dipanggil "Venk" oleh koleganya, dari Teddy, Mitch, hingga Rich dari JPL. Aku sendiri tidak tahu kenapa sampai akhirnya nama Dr. Venkat diubah menjadi Vincent. Walaupun dari nama belakangnya sangat terlihat bahwa ia adalah orang India, tapi tetap saja aku merasa agak aneh dengan pergantian nama tersebut.

Saat film sudah berjalan dan semakin seru, penonton semakin dibuat tegang dengan kendala-kendala yang ditemukan oleh Watney maupun NASA, ada humor yang terlewat. Aku tidak tahu apakah ini karena sensor dari pihak LSF Indonesia, atau memang dari proses produksinya sengaja tidak memasukkan unsur tersebut. Detilnya, ketika akhirnya Watney bisa berkomunikasi dengan NASA, ia tidak tahu kalau percakapan antar keduanya disiarkan di saluran publik dan merupakan siaran langsung. Watney yang sering kali melontarkan kata-kata kasar, bahkan humornya pun terasa frontal.Tetapi dalam film, tampaknya tidak terlalu dibuat komedia. Filmnya aku rasa menjual ketegangan. Padahal kalau ada humor itu, aku yakin penonton bisa lebih ikut terbawa suasana.

salah satu humor // sumber


Beberapa dialog yang menurutku cukup fenomenal juga tidak dimasukkan. Dialog yang aku bisa hafal di luar kepala ternyata hanya disimplifikasi menjadi sebuah jawaban ya dan tidak saja. Seperti misalnya ketika aksi penyelamatan dengan cara mengirim bahan makanan ke Mars untuk Watney akan diluncurkan, Mitch bertanya pada Vincent apakah ia percaya dengan Tuhan. Vincent hanya menjawabnya dengan "ya". Padahal kalau di buku, Venkat menjawabnya dengan "many of them. I am Hindu" dan menurutku itu yang lebih menarik dan mengena. 

Aksi penyelamatan Watney memang rumit dan membuat penonton tegang (begitu pula dengan pembacanya) namun untuk menutup film ternyata berbeda dengan yang ada di buku. Di film diceritakan kalau pada akhirnya Watney mengajar untuk calon astronot tentang bagaimana bertahan hidup di Mars dan sisa kru mengalami hidup yang menyenangkan. Sedangkan di buku, hanya berakhir hingga perasaan Watney mengenai dirinya yang berhasil diselamatkan. Dia pun mengatakan kalau dirinya hanya seorang ahli botani yang telah menggunakan entah berapa ratus juta dollar untuk memulangkannya kembali. 

How the Movie Goes
Meskipun terdapat beberapa perbedaan, terutama dalam segi humornya, aku cukup menikmati film ini. Aku tidak terlalu merasa kecewa dengan bagaimana eksekusi visualnya berjalan. Aku suka dengan setiap gambar yang disajikan. Semuanya tertata apik. Begitu pula dengan pilihan font face pada layar monitor perangkat elektronik Watney di Mars. Font face yang sederhana namun tetap futuristik. Font face untuk memberikan keterangan tempat dan waktu pada adegan juga bagus. Sekilas seperti hal yang klasik tetapi ternyata menambah keindahan penataan gambar. Jadi lebih enak untuk dilihat.

para kru Ares III / sumber


Pemosisian tokoh dengan aktornya sebenarnya aku tidak terlalu kontra dengan para pemain. Lagipula, ketika aku tengah membaca bukunya, aku hanya mengimajinasikan Matt Damon sebagai Watney dan tidak memikirkan siapa yang pas memerankan tokoh tertentu. Ternyata, yang berperan sebagai Johansen adalah Kate Mara yang cantik dan mungil itu! Menurutku dia sangat sesuai dengan gambaran Johansen, hanya saja di film tidak terlalu dieksplor kejeniusannya. Sama dengan pemain yang memerankan Vogel dimana seharusnya aksen Jerman masih terlihat meskipun ia berbahasa Inggris.  Menurutku, Matt Damon sudah pas menjadi Watney, hanya kurang humor saja selama di film. Padahala, Matt Damon pasti bisa menjadi Watney seperti yang ada di buku.

Penilaian Akhir

ratingnya bagus kok mas // sumber


Secara keseluruhan aku menikmati film ini. Visualisasinya jauh lebih bagus ketimbang yang aku bayangkan ketika membaca bukunya. Filmnya lebih rapi, lebih bersih, dan lebih tertata. Begitu pula dengan para pemainnya yang pasti penonton (penggila film) langsung mengenali siapa mereka. Tapi aku pastikan, jangan berkespektasi akan ada humor yang benar-benar harsh seperti yang tertulis di buku ya. Aku beri nilai 8/10 deh untuk film The Martian! :)

No comments:

Post a Comment