Penulis: Agatha Christie
Jumlah halaman: 168 halaman
Tahun terbit: 2016 (pertama kali rilis 2013)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Format: paperback
Harga: Rp 48.000 di Gramedia
Rating Shiori-ko: 3/5
Sinopsis:
Karya klasik Agatha Christie yang belum pernah diterbitkan––hilang selama 60 tahun
Sebuah pesta menjadi kisruh karena ada permainan yang tidak berlangsung dengan semestinya. Hercule Poirot diundang atas permintaan Mrs. Ariadne Oliver. Akan ada permainan pembunuhan di sana––tetapi ketika terjadi pembunuhan sungguhan, mau tak mau Poirot turun tangan untuk menyelidikinya.
Pada tahun 1954 Agatha Christie menulis novela ini untuk disumbangkan ke acara pengumpulan dana di gereja setempat. Tetapi setelah menyelesaikannya, dia memutuskan untuk mengembangkan cerita ini menjadi novel utuh, Dead Man’s Folly, yang diterbitkan dua tahun kemudian. Setelah 60 tahun, barulah novela ini akhirnya diterbitkan.
Resensi Shiori-ko:
Siapa yang tidak tergoda dengan desain sampul yang menarik itu? Sebelumnya memang aku sudah tahu kalau novel ini akan diterbitkan dari media sosial milik GPU. Tapi aku tidak sampai memasukkan ke dalam daftar beliku. Iseng-iseng main ke Toko Buku Gramedia, wah ternyata menggoda juga. Lebih-lebih buku ini tipis alias bisa aku habiskan dalam sekali duduk.
Gaya Bahasa, Kosa Kata, dan Penyampaian
Kalau selama ini selalu mengikuti tulisan-tulisan Agatha Christie versi terjemahan Gramedia Pustaka Utama, aku rasa tidak akan menemukan penerjemahan yang terasa kasar. Aku terbiasa membaca tulisan Agatha Christie dan aku merasa semuanya tetap sebagus edisi-edisi terdahulu.
Kosa katanya memang baku tetapi tidak terlalu baku. Ada juga beberapa kosa kata yang dipertahankan dalam bahasa Inggris (aku rasa panggilan untuk "Madame", "Sir", dan sapaan lainnya tidak perlu diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Indonesia).
Sebenarnya buku ini merupakan cerita singkat, dan ada bagian pembuka yang menceritakan bagaimana buku ini bisa sampai diterbitkan. Hal tersebut mempengaruhi cara penyampaian buku ini. Dibilang cepat, speed buku ini tidak terlalu cepat. Cerita Hercule Poirot & Pesta Pembunuhan bisa diikuti secara mengalir. Pembaca tidak perlu terlalu terburu-buru untuk dapat membayar rasa penasarannya.
Plot
Semuanya maju. Penjelasan mengenai siapa itu Mrs. Ariadne Oliver cuma sepintas saja dan bagiku cukup menjelaskan ada hubungan apa antara dia dengan Hercule Poirot. Seperti sudah dijelaskan, buku ini memang memiliki cara penceritaan yang cukup cepat tetapi permainan alurnya tidak membuat pembaca merasa harus terburu-buru.
Penokohan
Ada banyak tokoh dalam buku ini karena memang Mrs. Oliver ingin membuat semacam "Pesta Pembunuhan". Sebuah teka-teki yang mengundang khalayak untuk memecahkan teka-teki tersebut. Dari apa yang dideskripsikan dalam buku, pembaca sudah tahu secara gamblang seperti apa para tokoh di dalamnya. Ada Sir George & Lady Stubbs yang sering dipertanyakan keharmonisan rumah tangganya. Ada pula Marlene yang tampak seperti seseorang yang tidak memiliki masalah dengan orang-orang di dalam rumah tersebut.
Seperti biasa Poirot selalu merupakan seseorang yang terlihat paling tenang. Menjaga ketenangan tersebutlah yang akhirnya membuat polisi merasa kalau kasus yang ada di sana tidak sesederhana bunuh diri saja, melainkan ada pembunuhan. Satu sama lainnya pun saling berhubungan.
Isi Buku
Membaca Agatha Christie itu menyenangkan. Kamu tidak bisa membandingkan Poirot ataupun Miss Marple dengan duo Sherlock Holmes & John Watson. Agatha Christie punya caranya sendiri untuk membuat pembaca menjadi penasaran dan kesal karena tebakannya keliru.
Hal seperti itu biasa terdapat dalam tulisan-tulisan Agatha Christie. Namun, kali ini agak berbeda. Memang kita dibuat penasaran meskipun sinopsis buku sudah memberikan secuil cerita kalau yang disebut sebagai "Pesta Pembunuhan" ternyata hanyalah sebuah permainan sederhana yang kemudian berakhir sebagai TKP Pembunuhan yang sebenarnya.
Buku ini sangat singkat. Yang panjang hanyalah perkara menjelaskan apa yang terjadi dalam permainannya, penjelasan mengenai para tokoh dari deskripsi narasi maupun melalui dialog para tokohnya. Untuk penyelesaiannya, aku masih merasa kalau buku ini tidak membuat tercengang. Aku membandingkannya dengan tulisan Agatha Christie dalam And Then There Were None/Ten Little Niggers. Hasil akhirnya terasa biasa saja. Padahal aku berharap tulisannya seperti milik Gillian Flynn dalam The Grownup. Sama-sama memiliki twist ganda, tapi ya tidak seekstrim miliki Flynn dalam buku itu.
Saran Shiori-ko:
Secara keseluruhan buku ini bisa mengobati rasa rindu pembaca setia Agatha Christie. Bukunya juga tidak mahal. Yah, tidak ada salahnya untuk memiliki buku ini kan?
No comments:
Post a Comment