Tuesday, April 4, 2017

Feminist Fight Club

Fenomena Women's March memang sempat ramai. Apalagi ketika Donald Trump resmi dikukuhkan menjadi Presiden Amerika Serikat. Seruan terhadap perlindungan wanita pun juga semakin disuarakan. Tanggal 4 Maret 2017 lalu, Indonesia juga tidak ketinggalan. Sebagian besar warganya masih merasa bahwa persamaan gender di negara ini belumlah optimal. Ada hal-hal yang masih belum tuntas dibahas dan dilindungi secara hukum. Akibat dari isu-isu tersebut, aku semakin tertarik dengan buku-buku ringan yang membahas kesetaraan gender. Termasuk, buku dari Jessica Bennett yang begitu eye catchy dengan judulnya.

Penulis: Jessica Bennett
Jumlah halaman: 336 halaman
Tahun terbit:  2016
Penerbit: Harper Wave
Format: EPUB
Harga: USD 1.99
Rating Shiori-ko: 3/5
Sinopsis:

Part manual, part manifesto, a humorous yet incisive guide to navigating subtle sexism at work—a pocketbook Lean In for the Buzzfeed generation that provides real-life career advice and humorous reinforcement for a new generation of professional women.

It was a fight club—but without the fighting and without the men. Every month, the women would huddle in a friend’s apartment to share sexist job frustrations and trade tips for how best to tackle them. Once upon a time, you might have called them a consciousness-raising group. But the problems of today’s working world are more subtle, less pronounced, harder to identify—and, if Ellen Pao is any indication, harder to prove—than those of their foremothers. These women weren’t just there to vent. They needed battle tactics. And so the fight club was born.

Hard-hitting and entertaining, Feminist Fight Club blends personal stories with research, statistics, infographics, and no-bullsh*t expert advice. Bennett offers a new vocabulary for the sexist workplace archetypes women encounter everyday—such as the Manterrupter who talks over female colleagues in meetings or the Himitator who appropriates their ideas—and provides practical hacks for navigating other gender landmines in today’s working world. With original illustrations, Feminist Mad Libs, a Negotiation Cheat Sheet, as well as fascinating historical research and a kit for “How to Start Your Own Club,” Feminist Fight Club tackles both the external (sexist) and internal (self-sabotaging) behaviors that plague today’s women—as well as the system that perpetuates them.

***

Kalau pembacanya sudah pernah membaca #GIRLBOSS, tulisan dari Sophia Amorusso, rasanya tidak akan begitu kaget menemukan bagaimana Jessica Bennett menyampaikan manifestonya tentang Feminist Fight Club. Memang, kata "Fight Club" sendiri sudah memiliki arti yang kuat. Terutama bagi mereka yang sudah khatam dan terpuaku dengan bukunya (kalau sudah menonton filmnya juga akan mengerti maksudnya). Maka dari itu, tidak heran jika pada pembukanya, Jessica Bennet sudah menyatakan bahwa dalam Feminist Fight Club (yang kemudian disingkat dengan FFC) untuk berbicara mengenai FFC itu sendiri. Sebuah pembukaan yang aku rasa hanya dapat dipahami oleh beberapa orang saja. 

Belum lagi, ketika dilanjutkan masuk ke dalam bagian satu. Kosakatanya agak terdengar asing bagi pembaca yang tidak terbasa membaca media-media mainstream anak muda seperti Buzzfeed. Beberapa akan terdengar agak kasar karena pemilihan diksi yang yah...cukup frontal untuk menggambarkan seperti apa kekesalan Jessica Bennett terhadap ketidaksetaraan dalam dunia kerja.

Pembaca kemudian dibawa, melalui gayanya yang cukup santai dan sangat informal tersebut, menuju pada hal-hal yang "mengancam" kaum wanita di tempat kerja. Mengajak para pembaca untuk menyadari bahwa hal-hal yang menimpa mereka adalah bentuk dari ketidaksetaraan. Penjelasannya cukup singkat. Setiap tipe individu yang dikategorisasikan oleh Jessica Bennet dituliskan dengan cukup jelas. Menjabarkan seperti apa ciri-cirinya dan Jessica Bennet pun memberikan tips dan trik bagaimana menghadapi tipe manusia seperti itu. Tentu saja, tips yang menunjukkan kalau wanita juga berhak atas persamaan perlakuan di tempat kerja. Ohiya, pengelompokkan yang dilakukan oleh Jessica Bennett menggunakan bahasa yang sudah aku katakan tadi ya. Bahasanya agak mengagetkan untuk mereka yang tidak familiar dengan bahasa-bahasa vulgar dan frontal.

sumber
Meskipun begitu, masih ada elemen yang membuat buku ini menjadi lebih menarik. Ya, ilustrasinya. Buku setebal 336 halaman ini tidak akan menjadi sebuah buku yang membosankan sebab ilustrasi yang di dalamnya cukup menarik. Meskipun memang tidak berwarna. 

Selama membaca Feminist Fight Club pun aku mendapatkan banyak informasi baru yang rasanya baru dialami jika sudah berada pada sebuah kantor dalam kurun waktu yang cukup lama. Ada beberapa fakta terkait seberapa sexist-nya sebuah tempat bekerja. Dan pasti ada saja pihak-pihak yang ingin menjatuhkan kaum perempuan.

Sayangnya, meskipun di halaman pembuka Jessica Bennet sudah menyatakan kalau buku ini tidak tertutup untuk kalangan perempuan saja (alias siapa saja bisa menjadi bagian dari Feminist Fight Club), tetapi sebagian besar isinya menyiratkan kalau setiap wanita-lah yang tertindas. Meskipun, yang menindas tidak melulu laki-laki, Jessica Bennett juga menuliskan kalau ada juga kategori wanita yang menyusahkan wanita lainnya. 

Secara keseluruhan buku ini cukup informatif. Bahkan aku juga baru tahu kalau sexist workplace itu benar-benar ada yang sampai separah yang dikisahkan oleh Jessica Bennet. Belakangan, aku juga baru tahu kalau Jessica Bennet ini berada dalam satu lingkaran yang sama dengan Sheryl Sandberg, penulis buku Lean In.

Hanya saja, aku tidak bisa memberikan lebih dari 3 bintang sebab untukku buku ini masih condong pada tataran bahwa wanita-lah yang selalu menjadi korban ketidaksetaraan. Pemahaman ungkapan "feminist" yang dibawa oleh Jessica Bennett baru mencakup pada wanita. Padahal, istilah tersebut kita tersematkan pada semua jenis kesetaraan: baik itu perempuan atau laki-laki dengan segala orientasi seksualnya. 

Untuk ukuran sebuah buku bacaan, buku ini sesungguhnya lebih condong menjadi buku how to. Aku tidak begitu merekomendasikannya sebagai sebuah bacaan wajib. Tapi, boleh saja menjadi sebuah bacaan ringan untuk menambah informasi mengenai kerasnya hidup di dunia nyata.

No comments:

Post a Comment