Thursday, July 24, 2014

The Fault in Our Stars: dari Buku hingga Layar Lebar

Judul di atas terkesan terlalu ilmiah ya? Oke abaikan, aku sedang tidak punya ide lagi mau aku beri judul apa tulisanku ini.

Baiklah, aku akan memulainya dengan memberitahu kalian salah satu tujuan hidupku (oke, ini juga boleh diabaikan): membandingkan antara film dan bukunya. Iya, monoton dan sudah lumrah ya? Aku tahu, tapi mungkin perbedaannya adalah aku juga ingin membandingkan antara versi berbahasa Inggris (aku biasanya membaca US version) dengan versi terjemahan yang sudah beredar di pasaran. Well, mari kita mulai saja ya :)



Sebelumnya, aku pernah menulis resensi mengenai buku ini. Coba klik ini deh :)

Sesungguhnya buku versi terjemahannya sudah ada sebelum pengumuman bahwa buku tersebut akan diadaptasi ke dalam versi layar lebar. Namun sayangnya, judul versi terjemahan dari buku ini menjadi "Salahkan Bintang-Bintang" dengan kaver buku yang juga kurang menjual. Kemudian, muncullah buku US version dengan kaver movie tie in dimana berpengaruh juga dengan edisi terjemahan karena judul tidak diterjemahkan dan kaver dibuat juga ke dalam versi movie tie in

dua kaver edisi bahasa Indonesia. Yang kanan lebih baik daripada yang kiri.

Aku yang sudah membaca dalam bahasa Inggris pun penasaran seperti apa sih versi terjemahan, karena menurut beberapa teman, feel dan pesan yang ingin disampaikan oleh penulis tidak sepenuhnya sampai kepada pembaca. Sekaligus aku juga ingin menguji diriku sendiri, siapa tahu ketika aku membaca versi bahasa Indonesia, aku lebih mengerti persoalan diantara mereka dan akan lebih menangis daripada ketika aku membaca yang aslinya.

Hasilnya? Aku agak kecewa karena ada beberapa bagian yang menurutku tidak dimasukkan ke dalam edisi terjemahan. Entah karena kontennya terlalu vulgar, atau memang bagian tersebut tidak dimasukkan. Aku merasa perbedaan ini cukup terlihat. Kemudian, masalah pada umumnya yakni menerjemahkan frasa yang sebenarnya tidak perlu diterjemahkan. Misalnya, judul buku yang disukai oleh tokoh utama ialah "An Imperial Affliction" yang diterjemahkan menjadi "Kemalangan Luar Biasa". Bagiku, yang seperti tidak perlu diterjemahkan.

Tetap saja, membaca versi bahasa Indonesianya tidak terlalu membuatku menangis heboh seperti yang digembar-gemborkan oleh banyak netizen. Aku merasa biasa saja. Walau memang aku lebih merasakan feel cerita tersebut.

Kalau dengan filmnya? Jujur, filmnya melebihi ekspektasiku. Maksudku, visual setting seperti tempat dan hal-hal lain yang berhubungan mewujudkan citra abstrak pembaca menjadi lebih nyata. Aku suka dengan bagaimana film tersebut memperlihatkan potongan SMS antara Hazel dengan Augustus. Aku juga suka bagaimana film tersebut ternyata dibalut dalam bentuk flashback. Bagian-bagian romantisnya cocok dengan apa yang aku bayangkan dalam kepalaku selama ini. Kecuali untuk adegan ranjangnya, menurutku itu terlalu berlebihan dan aku risih. Ohya, aku juga mengagumi kamar Gus yang ternyata kece! Aku juga ingin punya kamar seperti itu :")

Aku menyayangkan, dalam dialog tidak ada kata-kata yang menjadi asal-usul mengapa buku tersebut diberi judul "The Fault in Our Stars". Walau memang, beberapa kutipan fenomenal dari bukunya langsung menjadi bagian dialog dalam film. Wajar juga sih kalau beberapa bagian dalam buku tidak divisualisasikan ke dalam film. Seperti ketika mereka menghibahkan set ayunan milik Hazel kepada orang lain. Yang ada, tahu-tahu ketika Isaac datang ke rumah Hazel setelah pemakaman Gus, set ayunan tersebut tidak ada. Atau ketika pasangan itu menikmati makan malam di Oranjee dan ada pasangan Belanda memberikan komentar kalau mereka adalah pasangan yang serasi.

Bagaimana dengan para pemain? Aku sempat merasa Ansel Elgort tidaklah cocok sebagai Augustus Waters sampai aku melihat bahwa ternyata dia bisa juga bersikap manis dan menggoda Hazel. Dia memang kurang cool untuk mewujudkan imajiku tentang Gus. Aku suka permainan ekspresi Ansel Elgort sehingga pada akhirnya aku jadi menilai dia pantas memdapatkan peran itu. Lagipula, dia juga serasi dipasangkan dengan Shailene Woodley. Pemeran yang lain seperti Isaac dan ayah Hazel ternyata melebihi ekspektasiku. Mereka tampan! Lebih baik ketimbang ayah Gus yang terlihat lebih tua dari gambar yang diproses dalam otakku. 



Tanpa banyak berkata lagi deh, aku ingin memberikan skor terhadap perbandingan 3 hal tersebut:
Buku US Version ke edisi terjemahan: 6/10
Buku ke format layar lebar: 8.5/10

Aku mengakui kalau versi filmnya jauh lebih sukses bikin aku menangis ketimbang dua versi bukunya.



---

Iya aku terlambat menonton karena aku memutuskan untuk menonton setelah semua urusan UAS, IPK, dan KKN kelar. Aku juga ingin mengucapkan terima kasih kepada temanku, Nashyta, yang sudah bersedia menemani :D

No comments:

Post a Comment