Penulis: Ahmad Tohari
Jumlah halaman: 406 halaman
Tahun terbit: 2011
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Format: paperback
Rating Shiori-ko: 5/5
Sinopsis: dikutip dari Goodreads
Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pendukuhan yang kecil, miskin, terpencil, dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri. Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama ronggeng itu. Dari kaula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten. Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental. Karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia-manusia yang telah mengguncangkan negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh para penguasa di penjara itu. Namun pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki mana pun. Ia ingin menjadi wanita somahan. Dan ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat secuil pun...
Resensi Shiori-ko:
Membaca buku ini ketika magang di Perpustakaan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan tahun lalu, namun terpaksa berhenti di tengah jalan. Tetapi, yang namanya rezeki tidak pernah lari. Hadir ke acara Indonesia Readers Festival 2014 bulan Desember kemarin, aku malah mendapat satu kopi buku ini. Awalnya aku kira buku yang aku terima adalah versi movie tie in cover, setelah aku buka dari bungkus plastiknya, ternyata itu hanyalah book jacket! Iya! Bukunya masih dengan kaver oranye itu <3
Gaya Bahasa dan Kosa Kata
Gaya Bahasa dan Kosa Kata
Poin inilah yang membuat aku jatuh cinta dengan novel Ronggeng Dukuh Paruk. Pertama kenal karena begitu seringnya cuplikan cerita ini ada di buku bahasa Indonesia semasa sekolah dan soal-soal ujian. Permainan diksinya yang indah sekaligus asing dalam duniaku membuatku ingin terus melanjutkan membaca. Aku suka dengan bagaimana cara Ahmad Tohari melukiskan suatu kejadian, suatu tempat dengan permainan kata-katanya. Indah.
Penokohan
Penokohan
Disini aku hanya ingin berbicara tentang 2 tokoh utamanya, yakni Srintil, si Ronggeng Dukuh Paruk itu sendiri, dan Rasus, bocah lelaki yang kemudian merantau menjadi tentara di kala negeri kita dilanda krisis tahun 1960an. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing yang sama-sama saling mendukung. Srintil memiliki alasan untuk hidup, begitu pula dengan Rasus. Memang, cerita ini berfokus pada Srintil. Diceritakan dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga. Namun di akhir cerita, bagaimana cerita ini ditutup malah diungkapkan dari sudut pandang orang pertama, yakni Rasus itu sendiri. Aku suka bagaimana penggambaran Srintil merasa ada pergolakan dalam batin mengenai mana yang memang merupakan batas perempuan dan mana yang dianggap adalah suatu keharusan dalam adat Dukuh Paruk. Sedangkan Rasus, setelah dirinya menjadi lebih "pintar" dengan jalan menjadi seorang tentara ternyata masih sayang dengan kampung halamannya itu. Tokoh-tokoh lainnya memang juga memiliki peran penting, namun dalam hal ini tidak terlalu mendominasi pemikiran keduanya.
Plot
Plot
Plot dalam kisah ini berjalan maju. Hanya sesekali menoleh kebelakang seperti mengingatkan pembaca mengapa hal buruk itu terjadi di perdukuhan seperti Dukuh Paruk. Menggunakan latar waktu tahun 65-70, aku kira itu tidak terlalu jauh berbeda dengan keadaan masa kini.
Yang Menarik
Yang Menarik
Aku suka caranya bercerita. Bagaimana kisah ini dituturkan dengan kehalusan diksi meski di dalamnya terselubung sesuatu yang berbau erotika. Aku malah tenggelam dengan bagaimana Ahmad Tohari menggambar suatu lokasi pedesaan dengan begitu mendetil. Membuat pembaca serasa ikut bersamanya.
Yang menarik lagi adalah konsep dan ide cerita yang diangkat oleh Ahmad Tohari. Penulis mengusung tema pedesaan dan orang-orang desa yang hidupnya tidak pernah bersinggungan dengan permasalahan politik. Secara tidak langsung, pembaca diajak mengetahui sisi lain dari Indonesia. Apalagi Dukuh Paruk masih berada di pulau Jawa, yang katanya pusat pemerintahan dengan tempat yang paling maju. Akan tetapi yang ada malah Dukuh Paruk penuh dengan sesuatu yang bahkan kita kira tidak pernah terjadi di Jawa. Melalui cerita ini, Ahmad Tohari ingin membukakan mata pembacanya.
Saran Shiori-ko:
Saran Shiori-ko:
Mau dikata apa lagi? Aku sudah terlanjur jatuh cinta dengan tulisan Ahmad Tohari. Jangan heran jikalau aku beri 5 bintang untuk tulisan ini. Bagaimana akhir cerita ini ditutup juga membuatku tercengang. Aku penasaran dengan bagaimana adaptasinya ke dalam film. Mungkinkah akan sebagus bukunya? Kalau kamu pecinta diksi yang indah, rasanya kamu harus baca buku ini :)
No comments:
Post a Comment