Penulis: Ahmad Tohari
Jumlah halaman: 88 halaman
Tahun terbit: 2013
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp 25.600 di Toko Buku Murah Online
Format: paperback
Rating Shiori-ko: 4/5
Sinopsis:
Kumpulan cerita pendek ini berisi 13 cerpen Ahmad Tohari yang ditulis antara tahun 1976 dan 1986. Seperti dalam karya-karyanya terdahulu, dalam kumpulan ini pun Tohari menyajikan kehidupan pedesaan dan kehidupan orang-orang kecil yang ludu dan sederhana. Dan sebagaimana dikatakan dalam "Prakata", kekuatan Tohari "terletak pada latar alam pedesaan yang sarat dengan dunia flora dan fauna".
Selain itu, gaya bahasa Tohari "lugas, jernih, tapi juga sederhana, di samping kuatnya gaya bahasa metafora dan ironi".
Alhamdulillah, terpaan pengerjaan skripsi sudah berakhir (tinggal sidangnya saja sih. Mohon doanya!) sehingga sebagai bentuk perayaan atas pencapaian ini, aku "mentraktir" diriku sendiri buku bacaan (padahal di kamar ada entah berapa buah buku yang belum terjamah). Begitu tahu ada buku karya Tohari yang diterbitkan ulang oleh GPU dan harganya sangat terjangkau, tentu saja aku membelinya.
Gaya Bahasa, Kosa Kata, dan Penyampaian
Aku setuju dengan apa yang dituliskan pada verso kaver ini. Disinggung pula pada laman "Prakata" bahwa kekuatan Tohari yang membuat dirinya melegenda adalah caranya menyampaikan pesan yang dibungkus dalam dongeng. Tema donengenya pun bukanlah yang berat dan penuh khayal, melainkan sesuatu yang seringkali diabaikan oleh orang-orang (sok) urban. Meski cerpen-cerpen tersebut ditulis jauh sebelum aku lahir, tetapi bahasanya tetap saja enak dinikmati, tidak begitu sulit untuk dipahami. Apalagi, susuanan diksinya yang selalu saja membawa pembaca pada aura pedesaan. Tohari seraya menegur kita, pembacanya yang (sok) urban, agar sadar bahwa di balik kemewahan kehidupan masih ada hal-hal sepele yang dianggap bencana besar oleh mereka yang ada di desa. Tidak salah jika Spardi Djoko Darmono pada laman penutup mengatakan bahwa Tohari sedang mendongeng tanpa menggiring pembacanya untuk mencapai tujuan tertentu. Tapi bagiku, cerpen Tohari ini penuh dengan prasangka sehingga menjadi multitafsir. Itulah titik menyenangkannya.
Plot
Ketigabelas cerpen tersebut punya beragam plot. Ada yang terus maju tetapi sebagian besar menggunakan plot maju mundur. Meskipun hanya berupa cerpen, tampaknya Tohari tidak ingin membuat pembaca hanya mengetahui apa yang terjadi selanjtunya pada tokoh tanpa mengetahui keadaan latar pedesaan itu sebelumnya. Tohari mampu membuat pembaca merasa seakan-akan setiap judul cerpennya merujuk pada sebuah masalah yang sebenarnya masih kita hadapi sekarang, hanya manusianya saja yang semakin tebal kadar tak acuhnya.
Penokohan
Setiap cerita memiliki 2 macam tokoh: yang baik, yang menjadi sosok yang seharusnya adalah idola tatanan sosial, dan seorang yang minor, yang dianggap "salah" oleh masyarakat hanya karena melakuakn hal yang tidak lumrah, tidak sewajarnya bagi penduduk desa tersebut. Setiap tokoh mencerminkan bagaimana manusia yang sebenarnya ingin menjadi penyelamat, salah-salah malah menjadi yang menyesatkan, dan bisa saja sebaliknya. Bahwa di balik dandanan yang compang-camping atau tubuh molek ternyata di sana ada "penyakit" masyarakat yang dipaksakan untuk sembuh tanpa kita melihat konteks yang tengah dialaminya. Sebenarnya semua tokoh yang menjadi tokoh utama dalam buku kumpulan cerpen ini adalah tokoh yang sangat dekat dengan kita, hanya saja kita terlalu sering berada di atas, melihat ke atas, tanpa sekalipun merasa perlu untuk melihat ke bawah dan mencoba memberikan pencerahan.
Saran Shiori-ko:
Dasar Tohari, selalu begini. Tulisannya selalu bisa menegur pembaca dengan "banyolan" sarkas, tentang bagaimana orang-orang pinggir selama ini diperlakukan oleh mereka yang memaksakan diri untuk menjadi modern. Aku selalu suka tulisan Tohari. Selalu kaya dengan kosa kata menarik namun beraura pedesaan. Aku suka tulisannya, maku aku merekomendasikannya.
No comments:
Post a Comment