Penulis: Ahmad Tohari
Jumlah halaman: 216 halaman
Tahun terbit: 2012 (pertama kali terbit 1980)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Format: paperback
Rating Shiori-ko: 3,7/5
Sinopsis:
Tidak mudah bagi seorang lelaki mendapatkan kembali tempatnya di masyarakat setelah dua belas tahun tinggal dalam pengasingan di Pulau Buru. Apalagi hati masyarakat memang pernah dilukainya. Karman, lelaki itu, juga telah kehilangan orang-orang yang dulu selalu hadir dalam jiwanya. Istrinya telah menikah dengan lelaki lain, anaknya ada yang meninggal, dan yang tersisa tidak lagi begitu mengenalnya. Karman memikul dosa sejarang yang amat berat dan dia hampir tak sanggup menanggungya. Namun di tengah kehidupan yang hampir tertutup baginya, Karman masih bisa menemukan seberkas sinar kasih sayang. Dia dipercaya oleh Pak Haji, orang terkemuka di desanya yang pernah dikhianatinya karena dia sendiri berpaling dari Tuhan, untuk membangun kubah masjid di desa itu. Karman merasakan menemukan dirinya kembali, menemukan martabat hidupnya.
Resensi Shiori-ko:
Kalau memperhatikan urutan tulisan di blog buku ini, pasti sadar mengapa aku memutuskan membaca Ahmad Tohari setelah membaca buku Ika Natassa yang terbaru itu. Betul! Aku butuh penetralisir atas simulakra kehidupan dari kalangan ekonomi menengah ke atas agar bisa kembali ke dalam kehidupan yang lebih sederhana, dengan permasalah "kompleks" menurut versi masing-masing. Selain itu juga, lompatan latar waktu yang berbeda membantuku untuk tidak terlalu berandai-andai memiliki pasangan hidup seperti para tokoh Ika Natassa.
Gaya Bahasa, Kosa Kata, Penyampaian
Kalau boleh jujur, aku agak tertipu oleh sinopsisnya. Awalnya aku menangkap kalau Kubah akan lebih banyak menjelaskan mengenai bagaimana kehidupan Karman setelah ia melakukan kesalahan fatal di tempat tinggalnya dan hingga ia mendapatkan kepercayaan dari salah satu orang terkemuka disana. Ternyata bukan. Penyampaian yang ditulis oleh Tohari lebih banyak, atau malah sebagian besar merupakan sejarh mengenai kehidupan Karman dahulu kala.
Tohari tetaplah Tohari. Kosa kata yang dipilihnya selalu tegas, lugas, namun kali ini tidak sesarkas yang pernah digunakannya pada novel Ronggeng Dukuh Paruk. Karena buku ini juga berlatarkan waktu pasca pemberontakan PKI, jadilah tone atau aura yang muncul dari rangkaian diksinya lebih banyak memberikan kesan bagaimana keadaan di era itu ketimbang aura pedesaanya. Kalau pernah membaca Ronggeng Dukuh Paruk, pastilah tahu bahwa dalam novel itu Tohari mampu menyeimbangkan aura latar waktu sejarah dengan aura pedasaan yang selalu menjadi topik utama dalam setiap tulisannya. Kubah berbeda. Porsinya lebih banyak ditujukan untuk menciptakan suasana ketika pemberontakan PKI.
Kecepatan berceritanya masih tidak berubah. Tidak terlalu cepat dan bagiku juga tidak terlalu lambat. Seakan pembaca diajak untuk menilik sejarah secara perlahan, siapa tahu masih ingat dengan apa yang diajarkan di sekolah dahulu kala.
Plot
Cerita dibuk dengan kisah Karman yang akhirnya berhasil dibebaskan dari Pulau Buru dan kembali ke desanya. Berada 12 tahun di dalam tahanan membuat ia linglung dengan keadaan sekitar yang sudah berubah total. Ia pun sempat takut jikalau orang-orang tahu bahwa ia adalah bekas tahanan politik. Cerita kemudian mengalir hingga 9 bab, berkisah tentang masa lalunya, anak siapakah dia, dididik oleh siapa saja, bekerja dimana, bertemu dengan siapa semasa hidupnya, hingga cerita bagaimana ia tertangkap. Barulah pada bab kesepuluh, Tohari kembali kepada waktu saat ia akhirnya kembali ke desa dan diberi kepercayaan oleh Pak Haji, tidak hanya untuk membangun kubah, melainkan lebih banyak lagi dari apa yang selama ini sempat ia salah artikan.
Sudut pandang cerita ini ialah orang ketiga serba tahu, bukan dari sisi Karman. Masih sama seperti kebanyakan tulisan Tohari lainnya yang lebih suka pembaca menjadi yang serba tahu.
Penokohan
Tokoh utama yang menjadi pusat cerita bernama Karman. Pria yang dahulunya merupakan anak Pak Mantri, salah satu orang yang disegani di desa. Namun kehidupannya berubah ketika ayahnya meninggal. Ia memang dipekerjakan oleh Pak Haji, pemuka agama di desa itu, tetapi juga mendapatkan hidup dan pendidikan yang laya. Karman meskipun anak desa tetapi ia tidak bodoh Ia hanya lugu dan polos, mudah dihasut, apalagi disulut kemarahannya. Tanpa sadar ia pun juga sosok yang perhitungan. Itulah sifat yang akhirnya dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang akhirnya membuat ia harus menjadi tahanan politik selama 12 tahun di Pulau Buru.
Pak Haji Bakir ini sangat dipandang oleh warga desa. Sosoknya alim dan sangat baik hati. Masjidnya selalu ramai dengan jamaah, tidak terkecuali Karman. Pak Haji Bakir ini juga bisa dikatakan sebagai orang yang mampu. Keluarganya masih bisa makan nasi ketika masa pendudukan Jepang sementara yang lain hanya sanggup makan ubi dan singkong. Namun Pak Haji Bakir tidak abai begitu saja. Beliau benar-benar taat pada agama, beliau tidak pernah absen membayar zakat. Namun, kebaikan yang sudah dicurahkan kepada Karman ternyata tidak dianggap sebagai suatu pembekalan akan masa depannya. Namun Pak Haji tidak sakit hati.
Sebenarnya masih ada tokoh yang lain, namun akan menjadi spoiler karena tokoh-tokoh tersebut ialah mereka yang menyebabkan dirinya harus mendekam di Pulau Buru.
Ide Cerita
Aku pribadi belum banyak membaca cerita dengan latar waktu pasca pemberontakan PKI meskipun aku tahu sudah banyak nama yang terkenal karena mengangkat latar tersebut sebagai ide utamanya. Aku merasa agak kesusahan untuk memahami konteks yang ada di dalam Kubah, bukan karena terlalu sulit dicerna, melainkan karena aku tidak sepenuhnya paham dengan keadaan (yang kata buku sejarah) pada saat iu, bagaimana PKI bisa memberontak dan membuat Republik sempat kacau. Tohari juga menyisipkan nama-nama inisial yang sepertinya emrujuk pada tokoh tertentu, kecuali Muso tentunya, karena jelas sekalli Tohari mengungkap siapa dia di dalam buku Kubah ini.
Permasalahan yang diangkat untuk Kubah juga berbeda dari tulisan Tohari yang pernah aku baca sebelumnya. Karman ini bukanlah orang bodoh seperti Srintil, bukan juga ia yang idealis seperti Pambudi. Karman ini disajikan dengan berbeda, yang kemudian masalahnya berupa rasa malunya untuk kembali ke desa setelah apa yang ia pernah lakukan saat pemberontakan PKI berlangsung. Masalahnya bukan masalah sederhana mengenai kemiskinan dan kebodohan semata, melainkan sudah lebih kompleks dari itu.
Mengenai apa yang ditulis oleh Tohari mengenai paham Marxisme dan paham-paham komunis lainnya, aku tidak bisa berpendapat. Aku mengakui kalau masih sangat kurang pengetahuan (pengetahuan ialah informasi yang sudah diolah untuk diyakini mana yang bisa dipercaya dan mana yang tidak) mengenai kisah PKI dan pemberontakannya dahulu kala.
Saran Shiori-ko:
Ini saran yang sangat subyektif mengingat aku suka dengan tulisan-tulisan Tohari. Jadi, singkatnya, baca saja. Siapa tahu setelah membaca Kubah malah ingin membaca referensi lain mengenai masa kelam Indonesia kala itu.
No comments:
Post a Comment