Penulis: Emha Ainun Nadjib
Jumlah halaman: 104 halaman
Tahun terbit: 2015 (pertama kali terbit 2007)
Penerbit: Bentang Pustaka
Format: mass market paperback
Harga: Rp 30.000
Rating Shiori-ko: 4/5
Sinopsis:
Penduduk negeriku malas belajar sejarah, ogah berpikir, tidak pernah merasa penting untuk mempelajari suatu persoalan melalui pertimbangan pemikiran yang saksama. Kalau ada buah busuk, mereka beramai-ramai sibuk mengutuknya, membuangnya, menghina buah itu, tanpa sedikit pun ingat pada pohonnya apalagi akarnya, terlebih lagi tanahnya—jangankan lagi pencipta tanah itu.
***
Istriku Seribu merupakan essay yang ditulis Cak Nun dalam meletakkan isu poligami pada konteks kehidupan bermasyarakat. Alih-alih tenggelam dalam debat tanpa ujung mengenai poligami dan kehidupan rumah tangga, dalam buku ini, kita akan diajak mengikuti dialektika satir antara Yai Sudrun dan Cak Nun. Mulai dari asal mula turunnya ayat yang mengatur poligami, kewajiban manusia terhadap sesamanya, prasangka manusia yang membutakan, hingga konsep cinta dalam berbagai bentuk.
Bersama keseribu istrinya, istri ar-rahman dan ar-rahim, Cak Nun mengajak kita untuk memetakan kembali batasan dan perintah Tuhan yang sesungguhnya dibuat untuk memancing akal manusia.
Istriku Seribu.
Resensi Shiori-ko:
Iseng. Sebab tengah libur panjang dan tengah kehausan dengan bacaan. Kebetulan ibu pernah merekomendasikan buku ini padaku namun belum aku sentuh. Maka aku rasa, tidak ada ruginya juga untuk coba membaca tulisan Emha Ainun Nadjib yang kabarnya memang bagus dan thought provoking.
Gaya Bahasa, Kosa Kata dan Penyampaian
Sangat baru bagiku untuk memulai membaca tulisan Emha. Kata ibu, tulisannya sedikit membahas tentang filsafat. Mendengar kata "filsafat" saja rasanya aku sudah malas, sebab aku pernah memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan dengan kelas Filsafat Ilmu saat masih berkuliah. Namun, kata Aven, salah seorang temanku yang juga hobinya membaca, tulisan-tulisan Emha merupakan tulisan yang mengkritik keadaan sosial budaay kita saat ini.
Apa yang dikatakan oleh ibu dan Aven ternyata baru bisa aku sadari saat aku mencapai halaman 30an. Awalnya, aku tidak begitu mengerti dengan bentuk kritik sosial apa yang sebenarnya tengah dilontarkan oleh Emha. Kosa kata yang digunakan sebenarnya tidak sulit. Emha menggunakan kata-kata yang sangat familiar dalam keseharian kita. Hanya saja bagiku, yang membuatnya sulit adalah karena gaya bahasa yang digunakan tidak terlalu familiar. Bisa saja karena aku belakangan ini membaca fiksi berbahasa Inggris sehingga membuat kepekaanku terhadap bacaan Indonesia yang agak berat menjadi sedikit berkurang.
Kalau menyalahkan cara penyampaian tampaknya juga bisa. Emha menggunakan penyampaian layaknya tengah bercerita ketimbang menuliskan pemikirannya menjadi sebuah esai yang sering aku baca. Walaupun aku bisa dengan cepat membaca buku ini, nyatanya aku baru menyadari keindahan buku setelah berjalan hampir setengah halaman.
Desain dan Tata Letak
Istriku Seribu menggunakan format mass market paperback, meskipun sesungguhnya ya tidak terlalu menyerupai bentuk mass market pada umumnya. Tapi, jangan remehkan isinya. Ukuran font yang digunakan (syukurlah) tidak terlalu kecil. Hurufnya masih nyaman untuk dibaca.
Buku ini tidak berwarna alias hanya hitam dan putih saja. Tetapi di setiap babnya, ada desain dari kutipan yang cukup mengena, ditata sedemikian rupa sehingga menjadi menarik (meskipun tidak disajikan dalam bentuk poster typography). Desain tersebut yang membuat buku ini tidak terlalu membosankan untuk dinikmati (di samping isinya ya).
Isi Buku
Seperti yang sudah aku katakan pada paragraf di atas, aku sempat tidak memahami apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Emha, apalagi dengan penyampaian yang juga agak sulit aku cerna. Akan tetapi, semakin ke belakang, barulah aku sadar kalau tulisan Emha ini bagus!
Kalau dibaca dari sinopsis, tampaknya buku ini hanya akan membahas soal "poligami" dan ketika orang membaca tulisan itu, yang terbersit pertama kali pasti soal pernikahan antara 1 pria dan banyak wanita. Namun, isi buku ini lebih dari itu. Emha tidak membahas hal remeh, melainkan secara luas dalam artian yang lebih lebar (atau bahkan belum terpikirkan oleh kita).
Tentu saja, Emha akan mengaitkan topik "poligami" tersebut dengan bagaimana Emha mengilhami ajaran Islam. Tapi entah mengapa, aku jadi suka dengan caranya berdakwah itu tadi. Ada banyak hal yang dapat diambil oleh pembaca selain mengenai masalah "poligami". Meskipun tidak banyak, Emha juga menyisipkan masalah kesetaraan gender dalam pernikahan dan mungkin hal tersebut juga luput dari perhatian kita. Terus bergulir topiknya hingga Emha juga mengaitkannya dengan sistem. Sistem apapun itu yang ada di Indonesia.
Aku berani memberikan 4 bintang dari 5 bintang karena Emha berhasil membuatku menyukai tulisannya walaupun aku agak kesusahan mengikutinya di awal buku. Emha membuka pemahamanku tentang poligami dan pernikaan dan yang lebih luas dari konteks "poligami" itu sendiri. Intinya, aku mendapatkan sudut pandang baru.
Saran Shiori-ko:
Aku tidak berani merekomendasikan buku ini untuk sembarang orang. Mungkin aku rasa, mereka yang sudah memiliki pemahaman cukup tentang Indonesia (minimal tahu apa yang terjadi dengan negara kita) bisa membaca buku ini sebagai referensi dalam melihat Indonesia.
Secara keseluruhan aku suka dan jadi ingin membaca tulisan Emha yang lain (iya aku tahu beliau sering menulis di web).
No comments:
Post a Comment