Dalam ulasan kali ini, aku tidak hanya membahas satu buku saja. Melainkan dua buku sekaligus. Berasal dari penulis yang sama dan masih membicarakan satu topik, maka aku rasa, akan lebih menarik jika resensinya berada dalam satu post.
Nama Chimamanda Ngozi Adichie memang terdengar asing bagiku. Aku belum pernah tahu siapa dia dan apa karyanya. Hingga suatu saat ketika sedang asik browsing di Kobo.com, laman Suggestion memunculkan sampul We All Should Be Feminist. Penasaran, ternyata kurang dari 50 halaman.
Ya, We Should All Be Feminists sebenarnya merupakan teks dari apa yang disampaikan oleh Adichie ketika ia menjadi salah satu speaker di TEDx. Dengan judul sesi yang sama, Adichie menyampaikan apa yang ada dipikirannya tentang menjadi seorang feminis. Termasuk, pentingya menjadi seorang feminis. Apalagi kalau melihat negara bagian ketiga seperti Nigeria, negara asal Adichie. Sesi yang disampaikan selama 30 menit tersebut apabila dijadikan tulisan kira-kira hanya sekitar 28 halaman saja (untuk versi Kobo-nya).
Penulis: Chimamanda Ngozi Adichie
Jumlah halaman: 21 halaman
Tahun terbit: 2014
Penerbit: HarperCollins Publisher
Format: ebook
Harga: USD 3,89 di Kobo.com
Rating Shiori-ko: 5/5
Sinopsis:
A personal and powerful essay from Chimamanda Ngozi Adichie, the bestselling author of Americanah and Half of a Yellow Sun, based on her 2013 TEDx Talk of the same name. ‘I would like to ask that we begin to dream about and plan for a different world. A fairer world. A world of happier men and happier women who are truer to themselves. And this is how to start: we must raise our daughters differently. We must also raise our sons differently…’ What does “feminism” mean today? In this personal, eloquently argued essay – adapted from her much-admired Tedx talk of the same name – Chimamanda Ngozi Adichie offers readers a unique definition of feminism for the twenty-first century, one rooted in inclusion and awareness. Drawing extensively on her own experiences and her deep understanding of the often masked realities of sexual politics, here is one remarkable author’s exploration of what it means to be a woman now – an of-the-moment rallying cry for why we should all be feminists.
Paparan singkat nan jelas pentingnya menjadi seorang feminis
Berbicara tentang feminisme, selama ini aku selalu familiar dengan sosok Sheryl Sandberg. Penulis buku Lean In tersebutlah yang membukakan mataku mengenai apa itu feminisme dan mengapa kita perlu menjadi seorang feminis. Banyak orang yang kemudian berargumen terhadap apa yang dituturkan oleh Sandberg. Ada yang mengatakan itu semua hanya kedok supaya ia bisa mendapatkan uang lebih banyak lagi. Tapi pada intinya, berkat dialah aku jadi semakin ingin membaca apapun mengenai feminisme.
Pemahaman terhadap feminisme yang kini aku internalisasi ternyata masih banyak kekurangan. Aku merasa harus ditambahkan dengan bacaan-bacaan yang semakin beragam dari sudut pandang segala arah. Tidak disangka, ketika iseng berada di Kobo.com, buku Adichie inilah yang kemudian menjadi pilihan.
Bagi kita yang sudah berada pada era post-modern seperti sekarang ini, terminologi "feminisme" bukanlah hal yang asing lagi. Yang ada di sekelilingku memahaminya sebagai sebuah aliran dimana mempercayai bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki atau ada juga yang menganggapnya sebagai gerakan yang ingin mendewakan perempuan. Namun, membaca esai Adichie ini, kita akan disuguhkan dengan definisi yang berbeda, Yang membuat kita merasa bahwa benar, masih ada yang salah dengan dunia ini memandang perempuan sebagai manusia (juga).
Adichie membawakan buku ini dengan ringan. Dengan bahasa yang tidak sulit untuk diikuti. Bahkan tidak sedikit yang disampaikan dengan cara humoris. Membuat kita sebagai pembaca awam menyadari bahwa kesalahan-kesalahan seperti itu memang ada tapi kita hanya menganggapnya angin lalu. Adichie menyentil pembaca dengan kalimat-kalimatnya yang singkat. Dengan pengalaman hidupnya di Nigeria.
Dalam We Should All Be Feminists inilah, Adichie mengutarakan pentingnya setiap orang memandang perempuan sebagai sosok manusia juga. Perempuan pun juga memiliki harga diri dan sebagai manusia, juga harus dihormati.
Apa yang dituliskan dalam We Should All Be Feminists merupakan teguran secara gamblang dengan kaum pria yang merasa terintimidasi dengan adanya para feminis. Ide besar itulah yang ditekankan dalam buku tersebut.
"Some men feel threatened by the idea of feminism. This comes, I think, from the insecurity triggered by how boys are brought up, how their sense of self-worth is diminished if they are not 'naturally' in charge as men."
Berbeda dengan bukunya yang terbaru, Dear Ijeawele, or a Feminist Manifesto in Fifteen Suggestions. Kali ini Adichie menuangkan apa yang harus dilakukan ketika kita sudah berkomitmen untuk menjadi feminis. Atau menjadi pejuang untuk kesetaraan gender.
---
Penulis: Chimamanda Ngozi Adichie
Jumlah halaman: 36 halaman
Tahun terbit: 2017
Penerbit: HarperCollins Publisher
Format: ebook
Harga: USD 9,69 di Kobo.com
Rating Shiori-ko: 5/5
Sinopsis:
A few years ago, Chimamanda Ngozi Adichie received a letter from a dear friend from childhood, asking her how to raise her baby girl as a feminist. Dear Ijeawele is Adichie's letter of response.
Here are fifteen invaluable suggestions--compelling, direct, wryly funny, and perceptive--for how to empower a daughter to become a strong, independent woman. From encouraging her to choose a helicopter, and not only a doll, as a toy if she so desires; having open conversations with her about clothes, makeup, and sexuality; debunking the myth that women are somehow biologically arranged to be in the kitchen making dinner, and that men can "allow" women to have full careers, Dear Ijeawele goes right to the heart of sexual politics in the twenty-first century. It will start a new and urgently needed conversation about what it really means to be a woman today."
Bagaimana menjadi seorang feminis dan menularkannya ke orang lain
Akibat dari nyantol itulah, aku merasa bahwa buku We Should All Be Feminists merupakan sebuah bacaan yang bagus. Puas dengan judul tersebut (aku beri 5 bintang dari 5!), aku kembali mencari karyanya yang masih berhubungan dengan topik feminisme. Dan ternyata ada judul terbaru. Well, buat apa pikir panjang untuk membaca buku ini?
Seperti yang dituliskan dalam sinopsis, Adichie menerima sepucuk surat dari temannya, bertanya bagaimana caranya membesarkan seorang anak supaya ia bisa memperlakukan orang lain secara setara (atau dengan kata lain, supaya menjadi seorang yang feminis). Adichie merasa hal tersebut tidak bisa dibalas dalam bentuk surat. Maka ditulislan ke dalam sebuah buku yang berisi manifesto (sebagaimana judulnya).
Masih sama dengan We Should All Be Feminists, buku ini juga disampaikan dengan sangat jenaka. Tidak perlu kata-kata yang susah. Dengan sederhana dan ringan, Adichie mampu menyampaikan apa yang ingin diutarakan. Terutama tentang menjadi seorang feminis dan membesarkan calon seorang feminis.
Setiap sarannya juga dijelaskan secara berurutan. Menambah kemudahan untuk memahami pesan-pesan tersebut. Adichie juga tidak lupa bahwa belum tentu semua pembaca familiar dengan istilah "feminis" sehingga ia pun mencoba untu menjelaskannya dalam bahasanya sendiri.
"Your feminist premise should be: I matter. I matter equally. Not 'if only'. Not as long as'. I matter equally."
Ada pula saran yang mengatakan bahwa penting bagi seorang perempuan untuk bisa membaca. Sebab dari membaca, ia akan mengajarkan orang lain tentang membaca juga. Dari membaca itulah, pendidikan bisa diemban. Pendidikan yang diawali dari kegiatan membaca akan membawa dampak yang luar biasa. Termasuk salah satunya memperjuangkan adanya kesetaraan gender.
Apa yang dipaparkan oleh Adichie adalah langkah mudah dari yang kecil hingga yang bisa berdampak luas. Cara penuturannya memang bukan seperti buku how to atau buku tutorial, melainkan Adichie yang tengah membalas surat temannya itu. Gaya penulisan tersebut menarik. Sebab, meskipun tampaknya buku ini bersifat personal, yakni untuk ibu dari Ijeawele, kontennya bersifat universal.
Buku yang hanya 36 halaman ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Sekali tertarik karena kalimat pembukanya, maka hanya ingin lanjut membaca hingga selesai. Begitu pula dengan We Should All Be Feminist. Aku secara pribadi menyukai keduanya. Adichie tidak menyorot satu gender saja, melainkan keduanya. Memberikan pemahaman kalau yang namanya "feminis" yakni memperjuangkan supaya baik laki-laki dan perempuan setrara. Ingat, kata "setara" berbeda dengan "sama".
Kedua buku (atau lebih cocok disebut esai) tersebut sangat aku rekomendasikan untuk mereka yang ingin sebuah bacaan sekali duduk tapi tetap berbobot. Tidak, kamu tidak akan rugi :)
No comments:
Post a Comment