Quarter life crisis. Itulah istilah yang seringkali dibicarakan oleh orang-orang yang barus masuk ke dalam usia 20an dan menuju seperempat abad. Pemicunya pun beragam, dari lulus kuliah, pilihan hidup setelahnya, bekerja, menikah, dan masih banyak lagi. Quarter life crisis juga menjadi awalan mengapa ada banyak sekali bahan bacaan yang mengangkat tema, "Andaikan saya tahu hal-hal ini di usia 20an", baik dari penulis lokal maupun internasional.
Tidak terkecuali dengan buku terbaru dari Marcella Purnama.
Penulis: Marcella Purnama
Jumlah halaman: 208 halaman
Tahun terbit: 2017
Penerbit: POP (Imprint KPG)
Format: paperback
Rating Shiori-ko: 2.5/5
Sinopsis:
I’ve lived my whole life following people and taking their choices as mine. I will dream a new dream, a dream that’s totally my own, and I will work hard to get it.
Ever since her acceptance letter to study abroad arrived at her inbox, nothing in Marcella Purnama’s life has gone according to plan. Instead of choosing Science, like her two older sisters did before her, she steered path to study Arts—a degree so alien to both her families and friends. But as she traveled thousands miles away, struggled with English, had her first byline and went back home to apply for her first job, Marcella realized that plans are meant to be changed. Full of relatable tales of horrific group work, falling in love, first job interview and quarter-life crisis, this illuminating account follows how a young adult grapples with life’s small and big questions, and the lessons learned along the way.
Memasuki dunia perkuliahan, bagi Marcella adalah suatu babak yang baru. Berada dalam pendidikan internasional sedari kecil bukan menjadi jaminan bahwa ia bisa akan survive di negeri orang. Ya, Marcella mengambil kuliah di negara kanguru, Australia. Meskipun kakaknya sudah lebih dulu berada di sana, masih saja ada banyak hal yang harus diurus dari Indonesia. Sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan olehnya.
Dari pekan orientasi mahasiswa baru hingga pada pilihan pekerjaan yang ia miliki di tangan, adalah batu-batu kecil Marcella. Setiap dari keputusan yang ia ambil, selalu ada konsekuensi yang menunggu di belakanganya. Hal tersebut bukan berarti Marcella harus berhenti berpikir. Menjadi anak yang paling kecil, ternyata membawa "beban" tersendiri.
Membaca buku ini seperti membaca suara Marcella yang sebenarnya. Bukanlah Marcella yang berada dalam bayang-bayang kakak-kakaknya itu.
Beberapa kali memang sangat tersurat disampaikan, betapa Marcella tidak ingin dibandingkan dengan kakaknya, Jessica. Marcella berusaha menepis dugaan orang di sekelilingnya bahwa ia tidak jauh berbeda dengan Jessica. Salah satunya adalah dengan melakukan "kenakalan-kenakalan" khas siswa sekolah.
Kepindahannya ke Australia juga dituliskan. Dituturkan bagaimana ia menghadapi kultur yang berbeda dengannya, bagaimana ia berusaha berteman dengan orang-orang lokal. Buku ini bisa juga dianggap sebagai buku harian Marcella. Ia menuliskan semua yang ia rasakan, semua yang ia alami. Mempersilakan pembaca untuk mengerti Marcella dari sisi yang sebenarnya.
Ketika membaca sekilas tentang buku ini, aku sempat berekspektasi bahwa buku ini akan seperti buku self-help lainnya. Ya, mengawali bab dengan angka (seperti buku Gretcher Rubin, The Happiness Project). Memberikan pembaca petunjuk di awal tentang apa yang akan didapatkan nanti ketika satu bab tersebut sudah selesai dibaca. Namun faktanya berbeda. Marcella menuliskan tentang kisah hidupnya yang dibagi dalam bab-bab tidak berangka. Memang, judul bab tersebut merupakan petunjuk, tapi bagiku, jadinya malah seperti judul bab biasa.
Marcella menyampaikan kisahnya menggunakan bahasa Inggris yang mudah untuk dipahami. Sedikit sekali kosa kata yang rumit. Semua diceritakan denga bahasa sehari-hari. Akan tetapi, aku kerap menemukan beberapa paragraf dengan kalimat yang kurang halus. Berpindah ide pokok namun tetap berada dalam satu paragraf. Alias, sedikit melompat dan tidak rapi.
Berbicara mengenai layout, aku sedikit menyayangkan bagaimana margin halaman buku ini terasa begitu mepet. Aku juga sempat menyangkan ilustrasi-ilustrasi yang ada di dalam buku kurang lebih seperti ilustrasi dalam Beats Apart-nya Alanda Kariza. Sederhana, namun mempercantik halaman buku.
What I Wish I Had Known (& Other Lessons You Learned in Your 20s) adalah sebuah buku yang sangat ringan untuk dihabiskan dalam sehari saja. Yang perlu diingat adalah, tidak semua pembaca (apalagi yang sudah berada pada usia kepala 2) merasa lesson yang dituliskan berisfat "wah". Ada beberapa konten yang aku kira biasa saja. Mungkin saja, kalau pembacanya adalah mereka yang akan memasuki umur 20 akan menjadi lebih cocok.
Sebelum memutuskan untuk membaca satu buku penuh, kamu bisa membaca bab pertamanya dulu di sini.
No comments:
Post a Comment