Saturday, September 29, 2018

Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-pecah



Ketika ramai-ramai isu agama dalam ranah politik dan pemerintahan, kata hingga frasa yang mengandung unsur "Tuhan" memiliki makna tersendiri. Ada yang merasa bahwa semua hal yang berkaitan dengan "Tuhan" merupakan sesuatu yang personal. Namun, ada pula yang mengatakan, "Tuhan" adalah topik yang lumrah untuk dibahas bersama demi menciptakan masyarakat madani.

Lalu, bagaimana jika "Tuhan" yang dimaksud merupakan sosok memiliki kuasa atas suatu wilayah dan memecah manusia? 

Stebby Julionatan membawa pembaca buku ini ke sebuah lokasi yang dilabeli sebagai Kota Tuhan.



Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah
Penulis: Stebby Julionatan
Jumlah halaman: 130 halaman
Tahun terbit: 2018
Penerbit:  Indie Book Corner
Sinopsis:

Aku akan belajar dari luka. Mengenang 
panen perdana kita. Benih sulung yang jatuh 
untuk memberi semai pada tunas yang baru.
Hanya ada satu kata: Kenang! Dan semoga 
doaku, cukup layak untuk menjangkaumu. 
***

Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah merupakan sebuah kumpulan puisi yang terbagi menjadi Midrash. Midrash Pertama merupakan perjalanan puisi dari tahun 2015-2016 dan Midrash kedua adalah perjalanan puisi di tahun 2017. Keduanya dirangkai menjadi sebuah cerita yang disajikan dengan menarik.

Di Kota Tuhan awalnya ku kira sebagai sebuah buku puisi yang banyak membahas mengenai perjalanan seseorang untuk menemukan siapa Tuhannya. Atau minimal, mempertanyakan eksistensi Tuhan dan agama. Namun, semua dugaanku di awal salah total.

Di Kota Tuhan malah menceritakan mengenai perjalanan cinta dengan latar belakang kota tempat kelahiran si penulis, Stebby Julionatan. Siapa yang menyangka, sebuah kota yang tidak sering disebutkan di media, punya ceritanya sendiri untuk menjadi romantis dan melankolis. 

Sang penyair membawakan puisi dengan menggunakan dua tokoh: Rabu dan Biru. Keduanya saling berkaitan dan dijelaskan pada bagian prolog. Mengapa tokoh tersebut diberi nama Rabu dan ada yang diberi nama Biru. Stebby tidak sekadar memberikan nama tokoh hanya untuk dianggap "hipster" atau apapun itu. Nama Rabu dan Biru masih berkaitan dengan Midrash Kedua. Hingga buku puisi ini ditutup.

Sentuhan emosi yang ada di dalam puisi-puisi karya Stebby menyenangkan jika diikuti. Bagaiamana tidak, meskipun ada kisah asmara antara Rabu dan Biru, terselip kisah masa lalu dan masa kecil. Tentang Kota Tuhan yang dijadikan latar belakang utama dalam buku puisi ini. 

Hal yang menarik lagi, Stebby juga memasukkan unsur-unsur yang berkaitan dengan permasalahan sosial kita. Masalah sosial rakyat Indonesia dan kemudian disuguhkan dengan sebuah pertanyaan mendasar: jangan-jangan memang Tuhan yang membuat kita saling membeci?

Hidup yang dipersatukan Tuhan tak dapat diceraikan oleh manusia, seperti itulah tertulis. Kenyataannya, manusia (telah) menceraikan tuhan-tuhan mereka, sehingga mereka pun mudah menceraikan sesamanya

Bagiku pribadi, buku puisi karya Stebby ini layak masuk dalam salah satu penerbit mayor di Indonesia. Puisi-puisinya bukan sekedar mengumbar kata tanpa makna. Malah kaya akan makna. Sayangnya, belum didukung dengan tata letak yang bisa membangkitkan emosi pembaca selain melalui sukma: melalui mata. Karena dicetak dengan tinta hitam putih, beberapa foto tidak terlihat terlalu jelas. Padahal, bisa saja foto tersebut mendukung puisi Stebby.

Tapi secara keseluruhan, Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah sangat layak mendapatkan waktu untuk kita baca, duduk tenang, dan meresapi maknanya.

No comments:

Post a Comment