Penulis: Ahmad Tohari
Jumlah halaman: 192 halaman
Tahun terbit: 2014 (pertama kali terbit tahun 1994)
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Harga: Rp. 32.000 di Toko Buku Murah Online Surabaya
Format: paperback
Rating Shiori-ko: 5/5
Sinopsis:
Perubahan yang mendasar mulai merambah Desa Tanggir pada tahun 1970-an. Suara orang menumbuk padi hilang, digantikan suara mesin kilang padi. Kerbau dan sapi pun dijual karena tenaganya sudah digantikan traktor. Sementara, di desa yang sedang berubah itu muncul kemelut akibat pemilihan kepala desa yang tidak jujur. Pambudi, pemuda Tanggir yang bermaksud menyelamatkan desanya dari kecurangan kepala desa yang baru malah tersingkir ke Yogya. Di kota pelajar itu Pambudi bertemu teman lama yang memintanya meneruskan belajar sambil bekerja di sebuah toko. Melalui persuratkabaran, Pambudi melanjutkan perlawanannya terhadap Kepala Desa Tanggir yang curang, dan berhasil. Tetapi pemuda Tanggir itu kehilangan gadis sedesa yang dicintainya. Dan Pambudi mendapat ganti, anak pemilik toko tempatnya bekerja, meski harus mengalami pergulatan batin yang meletihkan.
Resensi Shiori-ko:
Lelah setelah membaca Chomsky, lelah karena hampir setiap hari bergelut dengan buku teks yang berbahasa Inggris, aku memutuskan untuk membeli buku Tohari yang satu ini. Sebenarnya sudah ada dalam daftar bacaku, hanya saja aku selalu melewatkannya dengan alasan ingin membaca buku YA barat yang sedang ramai dibicarakan oleh kaum Booklr. Maka kembalilah aku pada penulis Indonesia favoritku ini.
Gaya Bahasa, Kosa Kata, dan Penyampaian
Kalau sudah pernah membaca karya Tohari yang paling fenomenal, Ronggeng Dukuh Paruk, aku rasa pembaca tetap tahu bagaimana gaya bahasa dan cara penyampaian pesan yang ditulis olehnya. Tegas, namun dengan rangkaian diksi yang indah. Permainan kata-katanya bagiku tidak sembarang memberikan arti denotasi, ada unsur konotasi yang ternyata masih relevan dengan keadaan masyarakat Indonesia saat ini. Meskipun buku ini ditulis pertama kali pada tahun 1994, tetapi permasalahn sosial yang diangkat oleh Tohari masih saja ada di negara kita.
Tulisannya selalu menyoroti masalah sosial, seakan memberi sindirian bahwa negara Indonesia yang katanya merdeka ternyata tidak sepenuhnya bebas. Penggunaan kosa katanya masih konsisten. Siapapun yang sudah pernah membaca karya Tohari pasti tahu kata-kata yang sering ia sematkan di dalam cerita. Khas Tohari itulah yang membuat aku suka dengan tulisan-tulisannya (dan dalam tahap mengoleksi karya-karya beliau). Khas tulisan pada era itu namun tidak membingungkan. Malahan memberi perasaan tersendiri kepada pembaca bahwa tulisan Tohari tidaklah sama dengan yang ada di pasaran saat ini. Kalau boleh aku berpendapat, membaca tulisan Tohari secara langsung menambah perbendaharaan kata kita, di samping pembaca menjadi peka dan mau melihat ke bawah.
Plot
Di awali dengan kilas balik keadaan desa Tanggir yang berada di kaki bukit Cibalak, tentang bagaimana masyarakat desa itu secara umum dan pak lurahnya. Barulah kemudian cerita di dalamnya menjadi beralur maju. Sudut pandang yang diambil adalah dari orang ketiga serba tahu.
Penokohan
Tokoh utama dari kisah desa Tanggir ini adalah seorang pemuda berusia 24 tahun bernama Pambudi. Kalau bagiku pribadi, sosok Pambudi digambarkan sebagai lelaki yang pasti ingin dinikahi. Wataknya serba positif, tidak mudah tersulut amarah, ditambah dengan ketulusannya ketika membantu sesama. Tokoh utama ini aku rasa agak sulit ditemukan di tanah yang sudah terpaksa menjadi modern (atas nama pembangunan dan kemajuan bangsa, padahal itu semua adalah alibi kapitalis). Memang sih ada kemungkinan orang-orang seperti Pambudi belum punah, tapi aku rasa kecil kemungkinannya bukan?
Tokoh "lawan" dari Pambudi adalah seseorang bernama Pak Dirga. Namanya juga lawan, seakan semua perangai buruk ada padanya. Tohari menggambarkan Pak Dirga seperti apa yang terjadi pada banyak pejabat sekarang: berbohong agar keuntungan yang melimpah masuk ke kantong pribadinya. Pak Dirga pun tidak hanya berlaku curang, melainkan juga melakukan guna-guna agar tercapai tujuannya itu. Gambaran Pak Dirga kurang lebih bagiku seperti memberi tahu mereka yang ada di perkotaan, bahwa akibat modernisasi, tingkah laku orang-orang desa yang kabarnya sangat humanis berubah menjadi hanya berorientasi pada uang semata.
Masih ada lagi tokoh pendukung seperti Sanis dan Mbok Ralem. Namun keduanya bukanlah fokus utama dari buku ini.
Ide Cerita
Tetap yang diangkat oleh Tohari adalah isu-isu sosial. Bahwa kemajuan yang diidolakan oleh banyak orang desa ternyata hanya sebatas pada fasilitas tanpa adanya perkembangan untuk sektor pendidikan bahkan kesejahteraan hidup orang desa itu sendiri. Yang kaya akan semakin kaya karena bisa membodohi orang-orang yang sudah bodoh itu. Praktik KKN bahkan sudah dimulai semenjak berada di taraf desa hingga akhirnya fitnah demi fitnah menyebar untuk menutupi kejahatan oknum yang korup.
Belum lagi soal menjadi yang benar diantara mereka yang salah dianggap sebagai suatu keburukan. Menolak bekerja sama melakukan tindakan korupsi dianggap sebagai perbuatan tercela yang membuat orang akhirnya menerima fitnah dan terpaksa melangkah pergi. Tohari pandai menuliskan kisah tersebut dan sangat terasa sebagai fenomena sosial yang memilukan namun tetap eksis hingga kini.
Diantara rumitnya kehidupan pedesaan yang penuh intrik dan guna-guna, Tohari masih sempat menyelipkan kompleksitas kisah percintaan. Konfliknya hampir mirip dengan kisah Ronggeng Dukuh Paruk, si perempuan pendidikannya tidak setinggi si laki-laki, belum lagi adanya halangan-halangan dan pergolakan batin yang menyakitkan.
Tohari selalu tampil dengan konflik sosial pedesaan ketimbang perekonomiannya. Membuat pembaca terbelalak bahwa adanya fasilitas yang memudahkan lantas tidak membuat hidup pedesaan jadi lebih makmur dan sejahtera. Fasilitas-fasilitas tersebutlah yang menjadi penyebab nilai-nilai luhur pedesaan menjadi luntur. Teguran Tohari pada bab terakhir begitu nyata. Teguran yang ditujukan kepada pembacanya yang pasti, tidak berada di pedesaan. Tegurannya seperti tamparan panas yang menghampiri pipi.
Saran Shiori-ko:
Aku berani beri 5 bintang dari 5 bintang karena bagiku kisah yang berada di kaki bukit Cibalak seperti memang benar terjadi. Belum lagi permainan kosa katanya yang indah dan mudah diikuti. Aku bingung ingin mengatakan apa lagi selain, bacalah buku ini.
No comments:
Post a Comment