Penulis: Gillian Flynn
Jumlah halaman: 560 halaman
Tahun terbit: 2015 (pertama kali terbit 2009)
Penerbit: Crown Publishers
Format: Mass market paperback
Harga: Rp. 125.000 di Periplus
Rating Shiori-ko: 3.5/5
Sinopsis:
Libby Day was seven when her mother and two sisters were murdered in "The Satan Sacrifice of Kinnakee, Kansas." She survived -- and famously testified that her fifteen-year-old brother, Ben, was the killer. Twenty-five years later, the Kill Club -- a secret society obsessed with notorious crimes -- locates Libby and pumps her for details. They hope to discover proof that may free Ben. Libby hopes to turn a profit off her tragic history: She'll reconnect with the players from that night and report her findings to the club -- for a fee. As Libby's search takes her from shabby Missouri strip clubs to abandoned Oklahoma tourist towns, the unimaginable truth emerges, and Libby finds herself right back where she started -- on the run from a killer.
Resensi Shiori-ko:
Akhirnya! Lengkap sudah membaca semua tulisan Flynn meskipun dua buku sebelumnya tidak membuatku puas dengan tema psychological thriller yang ia tawarkan. Membaca ini pertama gara-gara ada diskon di Periplus (anaknya lemah diskonan buku nih kak) dan yang kedua karena filmnya akan rilis bulan depan. Sebelum membaca ulasanku, tidak ada salahnya menonton klip trailler-nya.
Gaya Bahasa, Kosa Kata, dan Penyampaian
Aku mengawali buku Flynn dari Gone Girl, tergoda akan banyaknya perensi yang mengatakan kalau buku tersebut bagus dan akhirnya menemukan kalau bahasa yang digunakan untuk menuturkan cerita terntyata (bagiku) cukup berat & kasar. Hal tersebut juga aku temukan pada buku Flynn yang berjudul Sharp Object. Tetapi berbeda dengan Dark Places. Buku ini (diantara ketiganya) merupakan buku yang paling mudah aku pahami. Kalau dua lainnya aku butuh paling lama waktu membaca selama 1 bulan, Dark Places hanya butuh waktu selama satu minggu. Bahasanya lebih ringan ketimbang dua buku yang aku baca sebelumnya.
Untuk kosa kata, Flynn selalu hadir dengan ciri khasnya, yakni kata-kata yang kasar, yang bahkan aku sendiri tidak dapat membayangkannya apabila diterjemahkan secara harfiah ke dalam Bahasa Indonesia. Wajar saja sih, karena memang buku ini ditargetkan untuk pembaca dewasa ketimbang remaja. Umpatan-umpatan yang dilontarkan oleh para tokoh menurutku masih dalam tahap yang normal tetapi intensitasnya itu yang banyak, seperti setiap kali si tokoh marah, mereka akan mengumpat tiada henti.
Penyampaian inilah yang menurutku menarik dan bagiku menjadi poin lebih tersendiri. Masih sama seperti dua buku yang lainnya, Flynn setia menggunakan cara penyampaian yang sama, dan mungkin itu juga hal yang ia jual: konsistensi supaya tidak ditinggal pergi oleh para pembaca setianya.
Plot
Ini masih ada kaitanya dengan cara penyamapaian yang digunakan oleh Flynn. Permaian plot, tapi lebih kompleks dari Gone Girl. Memang, secara utama menggunakan sudut pandang orang pertama, yakni Libby Day selaku satu-satunya anggota Day yang selamat dari pembunuhan tersebut. Namun kemudian Flynn menyodorkan dua sudut pandang lain, yang malah disinilah pembaca akan merasa terkejut, teratrik lebih dalam menuju alam latar dari buku ini.
sumber |
Satu sudut pandang yakni dari ibunya, Patty Day. Meskipun menggunakan cara pencerita orang ketiga serba tahu, tetapi pembaca diajak menyelami apa yang dilihat, dipikrkan, dan yang sebenarnya terjadi sebelum pembunuhan tersebut dari kacamata Patty Day. Dan satu lagi adalah melalui kacamata Ben Day, yang merupakan pembunuh keji anggota keluarganya tersebut. Pembaca seakan diajak melihat dari sisi yang berbeda. Meskipun Libby dirasa sudah cukup memberikan kesaksian yang memberatkan Ben untuk dijebloskan ke dalam penjara, tetapi kejadian tersebut terjadi ketika Libby masih berusia 7 tahun, kalau kata Ben, masih bisa dimanipulasi oleh mereka-mereka yang membenci Ben untuk membuat Ben seakan benar-benar bersalah.
Flynn selalu bermain dengan latar waktu. Membawa pembaca maju dan mundur. Maju menuju apa yang ditemukan oleh Libby dalam pencarian kebenaran setelah 25 tahun ia cuek dan berhati batu, menganggap bahwa yang terjadi dengan ibu dan kedua kakaknya memang kesalahan Ben. Pembaca diajak mundur beberapa hari sebelum pembunuhan tersebut terjadi untuk melihat permasalahan apa yang ada dalam keluarga Day hingga Ben dengan teganya membunuh anggota keluarganya. Perlu aku akui, penataan plot yang rapi dan terstruktur ala Flynn ini membuat pembaca (termasuk aku) memaafkan jalannya alur yang lambat. Malah kalau menurutku, semakin lambat, akan semakin mencekam. Ketika pembaca mencapai penjelasan tertentu dari ketidakjelasan kasus tersebut, rasanya pasti akan kesal (dan mungkin mengumpat?). Sama dengan dua buku Flynn yang lainnya. Poin plusnya terdapat pada penataan plot.
Penokohan
Tokoh utama sekaligus yang menjadi narator ialah Libby Day. Berhasil selamat dari pembunuhan mengerikan tersebut ketika ia berusia 7 tahun. Sejak saat itu ia benar-benar percaya bahwa Ben adalah pembunuhnya hingga suatu saat seseorang dari Kill Club, sebuah komunitas pecinta kasus kriminilitas, datang untuk memintanya hadir dalam pembahasan pembunuhan tersebut. Libby digambarkan sebagai sosok yang keras kepala, bahkan dia tidak segan untuk menyemprot balik lawan bicaranya apabila ia merasa terpojok, agak sedikit kasar. Wajar saja, karena ia ditinggalkan ibunya dan dua kakaknya pada usia 7 tahun. Ia pun hidup juga tidak selalu berkecukupan sehingga kesempatan untuk menjadi "bintang" dalam Kill Club ia jadikan sebagai lahan untuk mendapatkan uang hidup.
sumber |
Ben Day, alias kaka tertua Libby Day, sekaligus yang dinyatakan sebagai pembunuh. Mendekam dipenjara yang bahkan Libby belum pernah sekalipun mengunjunginya, tidak pernah membaca surat-suratnya dan ia sendiri enggan untuk menengoknya ketika Kill Club meminta untuk mewawancari Ben. Ben digambarkan juga sebagai sosok bocah lelaki kala itu berusia 15 tahun yang merasa malu dengan kondisi keluarganya yang miskin, harus menjaga peternakan. Tidak jarang Ben menjadi bahan bully teman-temannya di sekolah, bahkan ia difitnah melakukan kejahatan. Ben memang anak yang nakal. Mewarnai rambutnya menjadi hitam dan melakukan seks bebas. Tampak seperti suatu latar belakang yang mendukung ia menjadi sosok pembunuh.
Patty Day merupakan sosok ibu yang sebenarnya ingin melindungi keempat anaknya dari kekurangan bahan pangan. Akan tetapi musim terus berubah sehingga pemasukan dari peternakannya tidak selalu baik. Patty tampak tegar di depan anak-anaknya tetapi sesungguhnya dirinya rapuh. Ia sering menghabiskan waktu dengan saudarinya, Diane, menumpahkan kekesalannya pada mantan suaminya, kegelisahannya pada perubahan sifat Ben dan hal-hal lain. Pada buku ini terlihat lebih banyak sosok Patty yang selalu sedih.
Lyle, ialah pemuda yang menghubungi Libby untuk hadir dalam pertemuan Kill Club yang membahas kasusnya. Meskipun Libby bersikap kasar (termasuk mengumpatnya), Lyle tetap setia pada kasus yang ingin ia pecahkan. Lyle percaya bahwa ada yang tidak beres dengan tragedi tahun 1985 tersebut. Bahkan Lyle membiayai perjalanan Libby untuk menuju orang-orang yang ada kaitannya dengan pembunuhan tersebut.
Ide Cerita
Sebenarnya kalau buatku tidak ada yang istimewa dengan ide ceritanya. Hanya kasus pembunuhan di tahun 1985 yang kemudian diangkat kembali oleh komunitas pecinta kasus kriminal 25 tahun kemudian, ketika teknologi untuk membantu penyelesaian kasus sudah semakin baik ketimbang pada masa itu. Sederhanya sih, karena waktu itu yang bertestimoni dan bersaksi ialah Libby Day berusia 7 tahun (yang mana mudah untuk dipengaruhi menjatuhkan Ben sebagai terdakwa) apalagi ia mengalami trauma pasca kejadian pembunuhan tersebut, sedangkan kini saat ia sudah berusia 32 tahun mungkin ada hal-hal yang bisa ia ingat dan bisa ia kaitkan dengan memori tertentu akan keluarganya.
I get hooked with the story. Tetapi sayangnya eksekusi untuk penyelesaiannya tidak memuaskan. Memang tidak tertebak apa yang terjadi sebenarnya di balik pembunuhan mengerikan tersebut, tetapi ketika akhirnya kita tahu siapa dalang semua itu, rasanya aku agak kecewa. Sedari awal dan sepanjang cerita Flynn terus melemparkan petunjuk kepada pembaca. Berharap agar pembaca bisa menebak atau minimal meraba, tetapi yang ada aku malah merasa kecewa dengan akhir buku ini.
Saran Shiori-ko:
Aku penganut paham, "baca bukunya dulu baru tonton filmnya." Mumpung masih ada waktu untuk membaca, coba saja. Bahasanya lebih ringan dan buku ini jelas terstruktur terutama dari segi alurnya.
No comments:
Post a Comment