Monday, July 13, 2015

Critical Eleven

Critical Eleven
Penulis: Ika Natassa
Jumlah halaman: 334 halaman
Tahun terbit: 2015
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Format: paperback
Harga: Rp. 79.000 di Gramedia
Rating Shiori-ko: 4/5
Sinopsis:


Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat -- tiga menit setelah take off dan depalan menit sebelum landing -- karena secara statistik 80% kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It's when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it's kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah -- delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan. 

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta - Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia mengingingkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada suatu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Dicertiakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta ata benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.

Resensi Shiori-ko:
Tulisan ini dibuat langusng setelah aku berhasil menyelesaikan dalam waktu entah berapa jam. Pokoknya setelah sahur, sembari menunggu adzan subuh, sebelum akhirnya di-php kampus dan memutuskan untuk langsung cabut ke kantor, menyelesaikan kerjaan yang harus diatur supaya tetap bisa bekerja hingga minggu depan. Di media sosial, aku sudah berkisah bagaimana perjuanganku mendapatkan buku ini, yang mana pembellian tersebut atas nama tergoda dengan bonus yang lucu itu. Syukurlah, modal tergoda bonus (bukan penasaran sama ceritanya) ternyata membawa berkah. Meskipun pos Indonesia mengalami keterlambatan hingga seminggu, aku memutuskan untuk membacanya di Surabaya, bukan untuk aku bawa mudik.

iya, aku tergoda dengan bonusnya itu (foto dok. pribadi)


Gaya Bahasa, Kosa Kata, dan Penyampaian
Seperti yang aku tuliskan pada resensi Twivortiare, aku belum pernah membaca buku Ika Natassa yang lain, seperti Antalogi Rasa misalnya. Maka, wajar bagiku kalau aku mengatakan Critical Eleven ini ceritanya disampaikan seperti cara Ika menuturkan kisah Alexandra dan Beno di Twivortiare. Syukurlah, Critical Eleven tidak dirangkai dalam bentuk kicauan di twitter. Ika Natassa masih konsisten menggunakan gaya bahasa yang lugas tetapi tidak terkesan menye. Kelugasannya itu juga dipertegas dengan penggunaan dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) dalam setiap percakapan non formal para tokohnya. 

Kekuatan Ika Natassa yang lain ialah sebenarnya melalui karyanya hal yang ia sematkan dalam bertutur. Kelihatan sekali kalau sosok Ika Natassa sudah mempersiapkan buku ini dengan baik, tidak asal-asalan. Kedalaman pemahamannya akan suatu hal menunjukkan kalau Ika Natassa sebelumnya melakukan riset terlebih dahulu sebelum akhirnya meracik novel ini. Jujur saja, aku terbantu dengan adanya catatan kaki pada bagian-bagian yang tidak dikenal oleh orang awam tetapi memiliki korelasi dengan cerita. Ika Natassa menjadi semacam memberi edukasi dan pengetahuan baru kepada pembacanya. Masih persis sama dengan yang pernah dilakukan pada buku Twivortiare.

Untuk pace-nya sendiri aku tidak merasa terlalu lelah karena ritme yang cepat. Melainkan lelah karena masih saja aku terkaget-kaget dengan apa yang dituliskan dengan apa yang terjadi selanjutnya. Alias, lelah karena emosi yang dituangkan dalam bentuk dialog seakan menjadi hal nyata. Sama seperti ketika aku membaca Perahu Kertas-nya Dee. Atau barangkali itulah nilai jual dari buku ini, selain plot-nya yang unik, cara Ika membungkus emosi para tokohnya untuk dapat dirasakan oleh pembaca juga menarik. Ya itu tadi, tidak menye, tetapi bisa membuat aku kadang terpaksa berhenti karena merasa kaget dan tidak terima.

Plot
Keunikan yang satu lagi ialah plotnya. Kalau membaca buku Gillian Flynn pembaca sudah tahu ada dimanakah posisi tokoh, karena memang plotnya sungguh terstruktur atau rapi, berbeda dengan Critical Eleven. Ika sengaja hanya memberikan nama tokoh, memberi tahu pembaca dari sudut manakah kisah tersebut dituturkan. Hanya nama Ale dan Anya saja, tidak ada keterangan lain seperti tanggal atau tempat. Seperti bagaimana John Green dan David Levithan menulis Will Grayson Will Grayson.

Namun yang seru ialah, dan syukurlah tidak membuatku kecewa, meski permainan plotnya tampak tidak rapi, ternyata malah sebaliknya. Pembaca sengaja dibuatnya meraba-raba ada dimana si tokoh, untuk kemudian oleh Ika diberi semacam reward, membuat pembaca akhirnya melongo atau bahkan harus berhenti sejenak untuk menarik nafas saking kagetnya. Aku tidak mengatakan kalau plotnya tidak rapi, plotnya terorganisir dengan baik, namun tidak dibiarkan secara tersurat. Plotnya seperti roller coaster, bisa membuat pembaca menjadi deg-degan dengan klimaks di beberapa titik, tetapi juga bisa membuat pembaca menjadi merasa tenang karena akhirnya menemukan kejelasan. 

Jangan lupa juga, buku ini diceritakan dari dua sudut pandang yang berbeda, dari sudut tokoh Ale dan sudut tokoh Anya. Ini juga yang membuat gemas bin gregetan, karena tetap saja apa yang dipikirkan oleh wanita tidak sejalan dengan apa yang ditangkap oleh si pria. 

Penokohan
Tokoh utamanya memiliki nama panggilan Ale, seorang yang digambarkan sebagai sosok yang sempurna. Well, tipikal pria urban dengan tampang yang menawan dan sifat yang selalu didambakan oleh wanita. Si Ale ini ceritanya dia kerja di kilang minyak, yang 5 minggu ada di lepas pantai dan 5 minggu bisa ke daratan. Bukan kerja di kilang minyak yang ada di Indonesia, melainkan yang ada di Benua Amerika. Dengan segala macam halangan yang dihadapinya saat di lepas pantai ketika sudah resmi menjadi pasanga Anya, Ale terlihat yang sangat memperjuangkan kisah mereka berdua. Bagiku, cerita ini bersentral pada Ale. Bagaimana Ale harus bisa deal with "tingkah" Anya dan memenangkan Anya sebelum dia harus terbang kembali ke rig-nya itu. Tertebak sih bagaimana Ale itu, sosok usia 33 tahun, mirip dengan sosok Beno dari Twivortiare (iya, aku belum baca Divortiare).

gambar diedit sendiri // sumber: instagram pribadi Ika Natassa

Anya, entah yang umur berapa karena sepanjang buku tidak ada yang menyinggung hal itu, terlihat sebagai orang yang sangat terpukul akan kejadian besar yang menimpa mereka berdua. Mungkin karena Anya adalah tokoh perempuan, lebih banyak bermain dengan perasaan ketimbang logika, membuat buku ini seakan menjadi kisah sedihnya Anya (well, tidak semuanya sih, tapi aku merasa bahwa kenapa condong sekali dengan Anya). Ia digambarkan sebagai, ya, perempuan yang cantik, berpendidikan lulusan luar negri dengan konsumsinya yang bisa dikatakan level menengah ke atas, bahkan mendekati jet set. Tidak jauh berbeda dengan gayanya Alexandra dari Twivortiate. Wanita karir yang hidupnya sibuk. Anya merasa terpukul, sangat terpukul dengan tragedi yang menimpanya, ditambah lagi dengan persepsinya akan tindak tanduk Ale dalam menghadapi tragedi tersebut. Anya tampak sebagai sosok yang keras kepala namun dingin, bahkan menjadi lebih dingin ketimbang Ale.

Ohiya, ada sekelebat Beno dan Alex dan anak mereka sebagai cameo dalam buku ini. Kabarnya, buku ini juga ada hubungannya dengan buku Antalogi Rasa & cerpen Critical Eleven yang ada pada kumcer Autumn Once More lo! (iya, belum baca emang).

Ide Cerita
Hingga beberapa bab di awal, aku tidak tahu sebenarnya buku ini bercerita tentang apa. Aku awalnya mengira hanya tentang seseorang yang terbang ke Sydney, bertemu seorang pria di pesawat dan kemudian jatuh cinta namun setibanya di tujuan, mereka pergi ke jalur masing-masing, tidak bertemu lama dan akhirnya takdir membuat persilangan di antara keduanya. Ya ala-ala kisah Cinta dan Rangga gitu lah. 

Aku juga menduga tokohnya bukan seperti Alex dan Beno yang notabene sudah berusia kepala 2 akhir dan kepala 3. Aku kira buku ini seperti novel romans remaja, seperti ketika aku membaca tulisan Jenny Han atau Robyn Schneider barusan. Meleset semua itu dugaan.

Ide ceritanya menarik, terlepas dari bagaimana kehidupan Ale yang harus jauh dari Anya, baik jarak, kesibukan, bahkan perbedaan zona waktu sekalipun. Dikemasnya pun juga tidak terlalu berat, namun tidak terlalu santai. Benar apa yang dituliskan oleh Ika Natassa, bahwa buku ini menawarkan sajian puzzle plot kepada pembacanya, berbeda denga Twivortiare yang ditampilkan layaknya kicauan di media sosial bernama Twitter itu. 

Masih berkutat dengan kehidupan kompleks manusia urban (yah, namanya aja metro pop gaes) dengan bagaimana mereka bisa memiliki ART, sopir pribadi, dua mobil yang berbeda, pergi ke Singapura tinggal asal booking tiket dan berangkat. Pokoknya seperti bayangan manusia sederhana untuk bisa berada pada tingkat kehidupan (yang katanya) papan atas tersebut. 

Lagi-lagi aku katakan, yang diberikan oleh Ika ialah pengalaman membaca yang emosional, entah si pembaca jadi memihak pada Ale atau Anya, atau keduanya, atau malah membenci. Ika Natassa juga masih juara dalam memberikan informasi di dalam kisah fiksinya ini, wah ilmu baru lagi nih!

Saran Shiori-ko:
Aku salut denga bagaimana Ika Natassa total dalam menuliskan Critical Eleven. Aku benar-benar merasakan bahwa sisi kehidupan Anya dan Ale ini juga banyak ditemui oleh orang-orang warga ibukota, yang dari luar hidupnya enak bak raja ternyata ada permasalahan pelik yang bahkan bisa menganggu ketenangan jiwa. Detil yang dituliskan oleh Ika Natassa terasa nyata. Bagi mereka yang ingin merasakan pergolakan emosi dan dibuat lelah dengan rasa geman tokoh-tokoh tersebut, bisa deh ya membaca buku ini. But still, this isn't my cup of tea. Aku tidak dibuat hangover oleh ceritanya apalagi jadi delusional dengan tokoh Ale itu. Bintang 4 yang aku berikan ini karena aku salut dengan bagaimana Ika Natassa menuliskan dengan rapi, terstruktur, dan mendetil. Jika aku boleh memilih, aku lebih suka Critical Eleven ketimbang Twivortiare. Perkembangan Ika Natassa terlihat sekali.

***Ngomong-ngomong aku heran, itu kenapa Ale ataupun keluarganya nggak ada yang berinisiatif buat bawa Anya ke psikolog aja sih?***


catatan: aku rasa aku akan membaca buku-buku Ahmad Tohari setelah ini. Terlalu banyak hal-hal urban dan gaya hidup jet set membuatku harus menapak di atas tanah lagi. Simulakra di dalam cerita ini cukup kuat pengaruhnya.

3 comments:

  1. Makasih resensi. Aku jd makin pengen beli. Uhmm boleh minjem? Huahahaha
    Salam kenal

    ReplyDelete
  2. Makasih resensi nya. Maaf ya sering typo.
    Eh beneran nanyanya, boleh minjem ga?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo! sayang banget buku ini antreannya udah panjang banget huhuhu
      you should buy anyway. udah ada di toko buku kok :)

      Delete